IKN membutuhkan ASN profesional

From ASN Encyclopedia, platform crowdsourcing mengenai ASN
Revision as of 19:27, 1 April 2022 by Anfadzm (talk | contribs) (menambahkan artikel)
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search


Sejak 2017 ketika Jokowi menjabat sebagai Presiden RI wacana pemindahan ibu

kota mulai hangat diperbincangkan. Hingga puncaknya di tahun 2019 bulan Agustus

Jokowi mengumuman secara resmi pemindah ibu kota negara (IKN) dari DKI Jakarta ke

Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara di Provinsi

Kalimantan Timur. UU Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara pasal 2

secara jelas menyebutkan bawah Kementerian berkedudukan di IKN. Pemindahan IKN

berimplikasi pada pemindahan kantor-kantor kementrian yang sebelumnya berada di DKI

Jakarta. Ini berdampak akan adanya pergerakan Pegawai Kementerian ke IKN yang

baru. Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang nantinya di tempati ribuan pegawai yang

dipindahkan dari kantor-kantor Kementerian di Jakarta akan menjadi tolak ukur

kompetensi ASN.

Daerah-daerah akan melihat ASN IKN sebagai role mode dalam menjalankan

tugas-tugasnya. Akan terbangun persepsi bahwa ASN IKN memiliki kinerja dan

kompetensi yang mumpuni karena IKN menjadi pandangan awal wajah Indonesia bagai

mana melayani masyarakat. Untuk itu ASK IKN harus dibekali dengan pengembangan

kompetensi untuk menciptakan ASN yang profesional. Kompetensi menjadi pondasi

dasar menciptakan profesionalisme. Profesionalisme pegawai ASN di sini dapat

dipahami sebagai sebuah kemampuan ASN untuk memiliki keterampilan dalam

melaksanakan pekerjaan sesuai dengan bidang dan jenjangnya masing-masing

(Komara, 2018)

Profesionalisme menyangkut kesesuaian antara kemampuan birokrasi yang

dimiliki oleh birokrasi dengan kebutuhan tugas (task requirements). Mencapai

kompatibilitas antara kemampuan bidang pemerintahan dengan kebutuhan tugas

merupakan syarat mutlak bagi terbentuknya lembaga yang profesional. Artinya, suatu

organisasi dalam mencapai tujuannya memerlukan sebuah keahlian dan kemampuan

aparatnya dalam merefleksikan arah dan tujuan yang ingin dicapai (Komara, 2018).

Agar menjadi seorang yang profesional dalam memberikan pelayanan, aparatur

negara harus mencari seorang yang dapat berperan sebagai ASN yang memiliki

kemampuan dan keandalan dalam bidang dan tugas setiap bagiannya masing-masing.

Profesionalisme pegawai ASN selalu berkaitan dengan pelayan publik (Komara, 2018).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat profesional pegawai ASN dalam

pelayanan publik, antara lain budaya organisasi publik, tujuan organisasi, struktur

organisasi, tata kerja di birokrasi, dan sistem insentif yang dihasilkan dan diwujudkan

dalam proses birokrasi (Komara, 2018). Faktor-faktor yang mempengaruhi

profesionalisme pegawai ASN di bidang pelayanan publik antara lain:

Pertama, kompetensi ASN. Kompetensi adalah suatu kemampuan untuk

melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas

keterampilan dan pengetahuan serta didukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh

pekerjaan tersebut. Wibowo (2016) Diharapkan pegawai IKN nantinya memiliki

kompetensi teknis yang sesuai dengan tupoksinya. Hal ini sejalan dengan prinsip the

right man on the right place.

Kedua, budaya organisasi. Budaya organisasi yang terbentuk dalam birokrasi

biasanya bersifat formalistis, yaitu pegawai ASN seringkali menjalankan tugas sesuai

aturan formal yang ada. Hal ini menjadi budaya secara turun temurun oleh pegawai ASN

sebelumnya, dan selalu bekerja sesuai dengan pedoman prosedur yang berlaku. Tanpa

ada keberanian untuk keluar dari kebiasaan yang ada, seringkali pegawai ASN

kekurangan inovasi, pikiran kritis dan motivasi kerja baru yang pada akhirnya berujung

pada menghambat profesionalisme pegawai ASN dalam memberikan pelayanan kepada

masyarakat. Karena IKN merupaka wilayah baru diharapkan ASN yang baru dapat

menanam budaya organasi profesional.

Ketiga, struktur organisasi. batasan antara atasan dan atasan seringkali menjadi

kendala dalam membentuk profesionalisme pegawai ASN, karena komunikasi internal

dalam organisasi publik tersebut biasanya relatif tidak menentu. Jarak antara ASN

pelaksanan dan pucuk pimpinan sangat jauh melewati dua sampai tiga tingkatan eselon.

Hal ini memperlambat pengambilan kesimpulan dalam memberikan pelayan kepada

masyarakat. Namun, hal ini tentu tidak berlaku untuk semua instansi pemerintah. Di

banyak tempat ditemukan kondisi yang berbeda, yaitu kondisi struktur hierarkis tanpa

kendala berarti dalam menjalin komunikasi internal. Hal ini dikarenakan gaya

kepemimpinan dalam administrasi manajemen dan operasional manajemen organisasi

dapat dikatakan sangat lancar. Selain menggunakan melalui metode kerja formal,

pemimpin juga menggunakan metode informal untuk menciptakan keintiman emosional

dengan bawahan (Komara, 2018).

Keempat, sistem retribusi. Dalam konteks ini, sebuah sistem insentif yang ada.

Sistem insentif pegawai ASN berupa reward and punishment dinilai belum diterapkan

secara optimal. Untuk mendapatkan penilaian ASN IKN dalam memberikan reward and

punishment dibutuhkan penilaian melingkar. Yaitu penilaian dari atasan dari kolega

setara dan dari bawahan. Hal ini untuk memberikan penilaian yang objektif dari berbagai

macam person yang berhubungan dengan ASN yang akan dinilai. Reward diberikan

remunerasi yang dihasilkan dari kegiatan secara adil dan merata. Begitu pula punishment

diberikan dengan melihat bobot pelanggaran yang telah dilakukan ASN. Meningkatkan

standardisasi dan komitmen akan menciptakan pelayanan terbaik yang diberikan oleh

pegawai internal ASN menjadi faktor kunci kualitas pelayanan.

.