Merencanakan dan Mengelola ASN Milenial

From ASN Encyclopedia, platform crowdsourcing mengenai ASN
Jump to navigation Jump to search

Beberapa tahun lalu, pemahaman orang terkait makna karir masih didominasi oleh pengertian tentang progresivitas jenjang jabatan di sebuah tempat kerja. Seseorang akan dianggap memiliki karir yang sukses jika terus naikjabatan di tempat kerjanya. Syukur-syukur bisa bercokol di top management. Para fresh graduate pun akan mencari pekerjaaan yang bisa mengakomodir kepentingan jenjang jabatan. Reputasi tempat bekerja (employer) juga menjadi pertimbangan dalam melamar pekerjaan. Jika diterima bekerja, orang akan mendaki satu per satu anak tangga jabatan hingga setinggi mungkin sebagai wujud perjalanan karir. Seseorang bisa bekerja bertahun-tahun di sebuah perusahaan atau instansi demi mengejar karirnya. Pola kerja harian masuk kerja pagi hari dan pulang sore hari (9 to 5) menjadi keniscayaan yang harus dilakoni. Loyalitas kepada employer hampir pasti menjadi sebuah obligasi. Promosi jabatan menjadi elemen yang dicari.


Perspektif dan pola semacam itu perlahan berubah seiring kemunculan teknologi komunikasi dan informasi baru bernama internet yang memfanakan sekat-sekat ruang fisik dalam berkomunikasi. Secara mendasar, orang tidak lagi harus bertatap muka untuk berkomunikasi. Pola dan gaya bekerja manusia yang tadinya kental dengan nuansa pertemuan langsung pun berubah menjadi pertemuan tidak langsung melalui medium perangkat digital dalam aktivitas pekerjaan. Ini merupakan era di mana pola relasi kerja tidak lagi bersifat tradisional. Dampaknya, Angkatan kerja generasi milenial saat ini pun memiliki lebih banyak pilihan dalam menetapkan karir pekerjaan. Berbagai profesi baru bermunculan yang tidak lagi bersandar pada pada pemikiran bahwa bekerja harus bersama satu employer terus menerus.


Profesi-profesi independent seperti vlogger, desainer, programmer, researcher, filmmaker, content creator bahkan gamer semakin jamak ditemui di kalangan anak muda generasi milenial. Mereka cenderung tidak bekerja menetap di satu perusahaaan dalam waktu lama. Sebagian bahkan memilih menjadi professional mandiri atau menjadi pekerja lepas (freelancer). Meski demikian, perubahan gaya bekerja yang terjadi tersebut bukanlah tanpa konsekuensi. Karakter generasi milenial yang berbeda dengan generasi sebelumnya dalam memandang makna karir pekerjaan juga menimbulkan konsekuensi-konsekuensi bagi perusahaan untuk mengelola sumber daya manusia yang sesuai dan adaptif dengan kelompok milenial sebagai Angkatan kerja terbesar saat ini.


Teknologi komunikasi, informasi dan media baru yang berhasil mengubah pola komunikasi dan pencarian informasi menjadi faktor yang berkontribusi besar dalam perubahan gaya hidup masyarakat, khususnya dalam gaya berkomunikasi dan pencarian informasi. Semenjak booming internet pada awal milenium ketiga, kita bisa dengan mudah mendapatkan informasi tentang apa pun. Internet juga memungkinkan orang untuk saling berkomunikasi menggunakan fasilitas surel, media sosial, dan juga ayanan perpesanan. Hal ini membuat pola komunikasi jarak jauh menggunakan internet memiliki nuansa interaktif kuat. Sifat interaktif dalam komunikasi internet inilah yang membedakan media dalam jaringan (daring) dengan sarana media lainnya seperti koran atau televisi. Selain itu, perkembangan perangkat komputer dan telepon genggam juga semakin akomodatif. Telepon genggam yang sebelumnya hanya berfungsi melakukan panggilan telepon berkembang menjadi perangkat komputer mini (smartphone). Komputer personal pun bertransformasi menjadi laptop yang juga memiliki fitur dan fungsi yang mendukung aktifitas keseharianpenggunanya. Smartphone dan laptop juga memiliki fitur akses internet yang memungkinkan orang saling berkomunikasi interaktif tanpa terbatas oleh ruang dan waktu. Ini dimungkinkan karena sifat dari perangkat laptop dan smartphone yang mobile dan portable sehingga orang nyaman menggunakannya. Tidak terlalu mengherankan jika praktik hidup keseharian manusia masa kini pun menjadi serba difasilitasi oleh gelombang internet lewat perangkat gadget. Sarana komunikasi jarak jauh ini jamak digunakan untuk berbagai keperluan. Jika kita kemudian menengok kepada konteks budaya kerja, kondisi tersebut juga mengimbas kepada pola relasi kerja. Hari ini orang tidak lagi melulu bergantung pada komunikasi tatap muka dengan rekan kerja atau mitra untuk menyelesaikan pekerjaan. Internet telah memungkinkan komunikasi dan koordinasi jarak jauh tanpa harus bertemu secara langsung. Sehingga sebuah pekerjaan bisa dikerjakan tanpa harus selalu bertemu secara langsung. Dimana mayoritas penggunaannya adalah anak-anak muda. Kita juga mengenal entitas tempat yang disebut dengan coworking space, sebuah ruang publik yang didesain dengan fasilitas layaknya sebuah kantor, memiliki layanan konsumsi makan-minum serta tentu saja koneksi internet super cepat. Tempat ini kini marak digunakan sebagai tempat bekerja oleh orang-orang yang mengerjakan pekerjaaan yang berbeda-beda dan tidak hanya berasal dari satu kantor. Tempat seperti coworking space muncul sebagai respon atas semakin maraknya gaya bekerja virtual. Selain tempat publik seperti coworking space, tidak sedikit juga orang yang memasang fasilitas internet di rumahnya untuk mendukung keperluan-keperluan pekerjaannya. Maraknya gaya kerja virtual ini bahkan telah memunculkan sebuah sebutan yaitu perantau digital (Digital Nomad). Perantau digital adalah orang-orang yang melakukan pekerjaan mereka menggunakan teknologi digital dan dapat bekerja di mana saja. Mereka berhubungan melalui internet dengan rekan kerja atau perusahaan yang menyewa jasa mereka. Di Indonesia sendiri, gejala ini sudah mulai muncul dengan banyaknya orang yang terlibat sebagai freelancer dalam berbagai proyek pekerjaan seperti penelitian, konsultansi, penulisan, dan sebagainya. Mereka bekerja tanpa terikat waktu dan kerap menggunakan fasilitas internet di rumah atau di tempat-tempat publik seperti coworking space ketika menggarap pekerjaannya. Gaya bekerja semacam itu terasa cocok dengan karakter generasi muda milenial yang memandang hidup serba optimis dan penuh peluang.

Generasi Milenial dan Strategi Pengelolaan SDM Era Digital Dalam konteks pekerjaan, merasakan pengalaman kerja yang dinamis dan mencari pengetahuan

baru menjadi sesuatu yang dicari oleh para milenial. Hal tersebut didorong oleh gairah para milenial akan pengembangan kapasitas diri yang cukup besar. Sehingga mereka menjadi satu kelompok generasi yang tidak sungkan untuk berpindah pekerjaan jika pekerjaan atau kondisi tempat bekerjanya dirasa tidak sesuai lagi dengan jiwanya. dengan Bermodalkan skill khusus yang dimiliki, mereka juga bisa menjadi pekerja lepas diberbagai perusahaan atau secara mandiri membangun karir di sektor wirausaha.

Mereka bisa bekerja kapan dan di mana saja yang cenderung merasa nyaman dengan identitas profesi yang mereka sandang. Maka menjadi lumrah jika kita sering dapati hari ini –misalnya- seorang desainer grafis usia milenial melakukan kerjasama dengan berbagai perusahaan untuk membuat atau merenovasi logo perusahaan tanpa harus secara fisik hadir di kantor atau bekerja secara permanen. Demikian juga dalam semesta media massa khususnya media daring, terdapat portal informasi yang memiliki banyak content creator usia milenial yang bekerja lepas kepada mereka. Tidak sedikit juga milenial yang memillih karir sebagai professional mandiri, membangun kreatifitas dalam sektor wirausaha menggunakan platform digital yang mereka ketahui.

Dengan demikian kemampuan memproduksi gagasan yang dapat dikonversi menjadi karya, produk atau layanan yang baru atau inovatif serta bermanfaat menjadi sebuah tantangan para pekerja milenial saat ini. Sebagai generasi yang kondang dengan karakter kreatif, inovatif dan produktif, generasi milenial menyambut hangat tantangan tersebut dan berlomba-lomba mengembangkan dan membuktikan kapasitas diri mereka melalui aktifitas pekerjaan yang didominasi oleh ketajaman dan kebaruan gagasan. Terlebih pekerjaan yang membutuhkan kreatifitas memang semakin dicari dan dibutuhkan di era digital. Dan teknologi boleh berkembang pesat, alat-alat tercipta semakin canggih, namun kreatifitas yang muncul dari polah pikir yang kemudian berkontribusi atas munculnya karya-karya peradaban tetap tidak bisa tergantikan. Alat secanggih apapun tetap tak akan mampu menciptakan karya yang bermanfaat jika tidak ada konstruksi gagasan dan kreatifitas yang membuat alat tersebut berfungsi dan dapat di manfaatkan untuk menghasilkan suatu hal yang bermutu dan berkualitas'

Tantangan kerja kreatif inovatif,dengan terbukanya peluang bekerja secara virtual dalam bidang kerja yang sesuai dengan minat, dimana idealisme di era digital pada akhirnya mulai mengubah perspektif terkait pemaknaan karir pekerjaaan di kalangan milenial. Karir sudah tidak lagi selalu dimaknai secara tunggal dalam bentuk kesetiaan terhadap sebuah perusahaan, meniti jenjang jabatan setinggi-tingginya, dan mencapai kemapanan di sana. Saat ini karir telah dimaknai sebagai sarana memperkuat kapasitas diri dan tidak lagi melulu berfokus pada jenjang jabatan. Semakin spesialis bidang kerja seseorang ditambah dengan semakin banyaknya pengalaman kerja atau karya yang dihasilkan akan terkesan semakin sahih identitas profesinya dalam bidang pekerjaaan tersebut. Singkatnya, karir bagi generasi milenial adalah jalan peningkatan kapasitas diri untuk menjadi ahli dalam bidang pekerjaan tertentu. Ini menjadikan generasi milenial sebagai kelompok terbesar angkatan kerja yang tidak risau dengan pola kerja nomaden atau freelance sepanjang gairah mereka untuk mencari pengalaman dan meningkatkan kapasitas diri dapat terpenuhi. Hal ini karena milenial bekerja tidak hanya sekadar untuk mendapatkan penghasilan, tapi juga mengejar pengembangan diri di dalam pekerjaannnya. Hal-hal tersebut yang membedakan generasi milenial dengan generasi-generasi sebelumnya yang lebih cenderung berfokus pada kemapanan ekonomi dalam bekerja.


PENGELOLAAN SUMBER DAYA MANUSIA

ERA DIGITAL