Indonesia Emas dan ASN Milenial, Utopia atau Realita

From ASN Encyclopedia, platform crowdsourcing mengenai ASN
Revision as of 19:05, 2 November 2021 by Bimoadiprianggoro (talk | contribs)
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

A. Pendahuluan

Dalam rangka menyiapkan generasi emas Indonesia tahun 2045, diperlukan pembangunan sumber daya manusia dalam perspektif masa depan, yaitu mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkualitas, maju, mandiri, dan modern, serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Keberhasilan dalam membangun sumber daya manusia ini akan memberikan dampak yang signifikan pada pencapaian tujuan pembangunan nasional secara keseluruhan (Kemendikbud, 2017:2). Selain itu, pembangunan sumber daya manusia juga berkaitan erat dengan metode reformasi hukum dan kehidupan sosial melalui Sustainable Development Goals (SDGs) 16, yang salah satu unsurnya adalah bagaimana sumber daya manusia mampu untuk membangun institusi publik yang efektif, akuntabel, dan transparan (Gusman, 2021:111). Dan tanpa kita sadari, bahwa peran Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam mewujudkan pencapaian tujuan pembangunan tersebut tidak bisa diabaikan begitu saja. ASN sebagai pelaku utama mempunyai peran signifikan dalam setiap kegiatan birokrasi. Walaupun didukung dengan sarana dan prasarana serta sumber dana, tanpa dukungan ASN yang handal, pelaksanaan kegiatan tidak akan terselesaikan dengan baik. ASN adalah aset yang paling penting dalam organisasi.

Namun pada kenyataannya, semenjak dimulainya era reformasi tepatnya pada tahun 1998 sampai dengan saat ini, kondisi serta upaya yang telah dicanangkan oleh pemerintah dalam meningkatkan kualitas birokrasi dapat dikatakan belum optimal. Masih banyak permasalahan yang melingkupi pelaksanaan birokrasi di Indonesia. Bentuk permasalahan yang terjadi tersebut di antaranya yaitu masih berlangsungnya praktik KKN, tingkat transparansi serta akuntabilitas yang masih rendah, belum optimalnya pengawasan birokrasi pemerintah itu sendiri, dan masih rendahnya etos kerja serta sikap disiplin dari para birokrat. Dan salah satu penyebabnya ditengarai adalah rendahnya kualitas ASN. Hal tersebut dapat tercermin dari kesejahteraan pegawai, proses rekruitmen dan pengembangan karir yang belum mendukung, serta budaya yang belum mampu membawa efek positif terhadap perkembangan aparatur (https://yoursay.suara.com/kolom/2021/06/14/161831/tranformasi-asn-seperti-apakah-yang-dibutuhkan-oleh-birokrasi-di-indonesia).

Birokrasi Indonesia memiliki target yang besar. Merujuk pada Road Map Reformasi Birokrasi, mimpi birokrasi Indonesia adalah mencapai fase birokrasi kelas dunia, birokrasi yang memiliki semangat dynamic governance yang kuat. Untuk mencapainya ada tahapan-tahapan tertentu yang perlu diraih. Namun, ada catatan yang perlu dijadikan pertimbangan. Berdasarkan data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) dari 4,28 Juta ASN yang dimiliki Indonesia, hampir 40% merupakan tenaga administratif. Masalah menjadi lebih kompleks, seperti yang ditinjau oleh Yanuar Nugroho (2020), seperlima ASN Indonesia berusia di atas 51 tahun: usia yang sulit untuk mengikuti gerak zaman.

Kajian ini tidak ditujukkan dalam rangka melebihkan peran generasi milenial, tetapi untuk menggali kemungkinan-kemungkinan optimum yang bisa dilakukan secara realistis tentang apa yang bisa dikerjakan oleh birokrat milenial. Generasi milenial yang mengabdi sebagai aparatur negara baik menjadi tumpuan dalam pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang lebih bersih, gesit dan adaptif. Di sisi lain dalam tempo 2030-2040 Indonesia diproyeksikan akan memasuki fenomena bonus demografi yang ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk produktif secara signifikan (Harsono, 2019). Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2017, jumlah generasi milenial mencapai sekitar 88 juta jiwa atau 33,75 pesen dari total penduduk Indonesia. Dalam hal ini, idealnya semakin melimpahnya SDM usia produktif berpengaruh positif untuk pembangunan dan masa depan Indonesia.

Generasi milenial memiliki daya sensitifitas yang kuat terhadap kebaruan (mediaindonesia.com, 2020). Mereka mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Dalam hal ini, penyelenggaraan tata kelola negara tidak berada dalam ruang vakum, ia tidak bisa dijalankan secara stagnan dan melulu tambal sulam. Tata kelola selalu berjalan secara dinamis. Oleh karena itu perlu energi ekstra dan kapabilitas yang dinamis pula dalam menghadapi kontingensi. Untuk konteks ini, generasi milenial memiliki poin lebih dibanding generasi sebelumnya. Mereka yang memiliki karakter anti kemapanan, memiliki idealisme besar, kreatif dan berani serta bisa menjadi antitesis dari birokrat yang bermental feodal dan paternalistik, anti-perubahan, dan birokratis (mediaindonesia.com, 2020).

Namun sayangnya, masih ada keraguan terhadap kapasitas birokrat milenial, seperti yang diungkap oleh Biro Humas Badan Kepegawaian Negara (BKN) Mohammad Ridwan dalam merespon proyeksi gap yang jauh pada kondisi waktu mendatang antara PNS berusia di atas 46 tahun dengan PNS di bawah 46 tahun. Sehingga dimungkinkan dalam kurun waktu beberapa tahun ke depan akan ada kesenjangan PNS di mana banyak PNS yang sudah mencapai batas usia pensiun namun generasi berikutnya belum cukup matang untuk menggantikan (Kompas, 2019). Generasi milenial selalu dinilai sebagai sosok yang belum matang. Justru, di era digital saat ini, momentum presentasi mereka dalam birokrasi menjadi lebih kontekstual dibanding sebelum-sebelumnya.

Kemampuan generasi milenial melakukan perubahan pada tiap zaman tentunya tidak menutup kemungkinan akan merambah pada kelembagaan birokrasi. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis ingin menjelaskan pertanyaan besar atau rumusan masalah terkait bagaimana ASN milenial mampu mendorong perubahan di tubuh birokrasi menuju dynamic governance. Sedangkan tujuan penelitian dalam penelitian ini yaitu untuk mendalami potensi anak muda dalam proses transformasi birokrasi menuju dynamic governance


B. Disrupsi Teknologi, Anugerah Atau Musibah

Di masa sekarang ini, kita menyadari bahwa dunia sedang dihadapkan pada revolusi industri baru atau sering disebut sebagai Revolusi Industri 4.0. Dalam perkembangannya, setidaknya terdapat sembilan pilar yang menjadi ciri perkembangan teknologi revolusi industri 4.0 yaitu 1) Analisis Big Data, 2) Robot Otonom, 3) Teknologi Simulasi, 4) Integrasi Sistem Horisontal dan Vertikal, 5) Industri Berbasis Internet of Things (IoT), 6) Keamanan Siber, 7) Teknologi Informasi berbasis Cloud, 8) Manufaktur Aditif, 9) Teknologi Augmented Reality (Gerbert et al., 2015; Vaidya et al., 2018). Implikasi dari transformasi ini tentu sangat serius terhadap situasi birokrasi kita. Empat puluh persen kerja administratif yang masih mendominasi dalam tatanan birokrasi kita, berpotensi terkena dampak disrupsi. Jenis pekerjaan yang administratif repititif bisa dialihkan kepada teknologi.

Fenomena ini muncul karena hadirnya teknologi informasi yang sangat cepat, seperti Artificial Intelligence (AI), Big Data, Cloud Computing, dan Internet of Thing (IoT). IoT memberikan ruang konektivitas antarorganisasi tanpa mengenal sekat-sekat waktu dan lokasi. Revolusi ini mendorong banyak institusi dapat menyediakan berbagai hal secara instan, personal (customize) dan dengan skala yang massif (Purwanto, 2019:12). Di era yang kita kenal dengan VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguous) maka birokrasi dituntut untuk bergerak serba agile dan profesional.

Era digital saat ini menuntut kapasitas ASN dalam pemanfaatan peluang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menciptakan inovasi-inovasi baru dalam menghadapi tantangan Revolusi Industri 4.0. ASN yang memiliki kemampuan menguasai teknologi akan mendorong sistem pemerintahan Indonesia ke birokrasi yang sejalan dengan semangat Revolusi Industri 4.0 (Faedlulloh et al, 2020:320).

Tahun 2020 hingga 2030 diprediksi Indonesia mencapai puncak populasi usia produktif sebesar 70% dari total penduduk Indonesia. Ini bisa jadi modal berharga bagi perekonomian dan kemajuan Indonesia jika ASN milenial sebagai generasi dengan jumlah besar dapat dikelola baik. Terlebih mereka memiliki leadership dan networking yang baik sehingga mampu mengelola individu ataupun organisasi.

Hal ini tentu saja akan membawa manfaat yang besar dalam rangka optimalisasi pelayanan publik karena nuansa pelayanan akan semakin mudah dan simple dengan kehadiran teknologi. Sistem birokrasi juga dituntut untuk melakukan redesign position dengan model Governance 4.0 yang mengusung tema/pendekatan Digital Governance, yang meliputi Talent Management, Co-Working Space, Structural Simplification, Capacity Building, dan Super Application. Konsep Co-Working Space ini menjadi yang paling menarik bagi ASN milenial karena mereka akan didesain untuk bekerja lebih fleksibel dan bisa membawa pekerjaannya kemanapun tanpa harus berada di kantor. Mereka bisa berada di kedai kopi untuk sekedar menyelesaikan laporan setelah meeting dengan rekan kerja diluar, atau menghilangkan kantuk karena terlalu bosan berada di dalam kubikel kantor.

Selain karena adanya peluang menemukan kolaborasi, lingkungan kerja di co-working space menjadi lebih produktif dengan tersedianya fasilitas-fasilitas pendukung guna mendukung suasana kerjanya. Ruangan dengan pencahayaan yang cukup, design interior yang menginspirasi, akses internet berkecepatan tinggi, hingga musik yang diputar melalui pengeras suara sekeliling area kerja menjadi fasilitas pendukung lain yang membuat co-working space sebagai tempat yang sesuai dalam melepas kepenatan yang selama ini muncul akibat budaya kerja tradisional (https://go-work.com/blog/pengertian-apa-itu-coworking-space).

Disrupsi di era digitalisasi saat ini menjadi sebuah ancaman bagi penyelenggaraan pemerintah terutama pada organisasi birokrasi. Adapun beberapa permasalahan dengan adanya kemunculan disrupsi bagi penyelenggaran pemerintahan yaitu adanya disrupsi di semua sektor kehidupan, menguatnya Artificial Intelligence, penggunaan Big Data, serta adanya interaksi dan pelayanan online. Keempat perubahan tersebut dalam dunia birokrasi tentunya perlu ditanggulangi dengan adanya kekuatan perubahan yaitu dalam bentuk Global Governance, Digital Governance dan Knowledge based Governance (Kasali, 2020).

Global Governance merupakan konsep yang menjelaskan terkait tidak adanya dominasi oleh satu tingkat saja (negara) akan tetapi terdapat hubungan dalam negara maupun luar negara. Global governance yang pada hakikatnya melibatkan aktor di luar negara maka implikasi regulasi berada di luar sektor publik. Hal ini kemudian dapat menjadi gangguan ataupun kekuatan bagi sebuah negara untuk meningkatkan perekonomian negara (Sugiono, 2005). Digital governance dalam kacamata sektor publik dapat diartikan sebagai tata kelola pemerintahan yang berbasis teknologi elektronik atau internet. Sektor publik berinovasi untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat dengan tanpa harus bertatap muka. Implementasi digital governance pada sebagian negara menggunakan dua sektor yaitu sektor publik sebagai penyelenggaraan pemerintahan dan sektor non pemerintahan yaitu swasta sebagai end-user sebagai operasional (Dunleavy, et al, 2006).

Digital Governance tentunya melahirkan tata kelola pemerintahan (dalam hal ini disebut sebagai governance 4.0) yang berbeda dalam pola kerja birokrasi. Pola aktivitas birokrasi yang berbasis pada governance 4.0 mencakup pada 5 (lima) kemampuan yaitu merujuk pada tata kerja yang berimplikasi pada struktur birokrasi sederhana, talent management, capacity building, pembelajaran berbasis teknologi serta Co-working space. Implementasi governance 4.0 tentunya membutuhkan Knowledge based Governance sebagai syarat utama dalam menciptakan sebuah perubahan dalam tubuh birokrasi. Knowledge based governance menuntut adanya kepemimpinan yang berorientasi pada perubahan, memiliki kemampuan perencanaan yang baik, dan  mengedepankan partisipatif. Hal ini tentunya dapat menjadi gangguan ataupun kekuatan dalam menjalankan pelayanan publik di sektor publik (Schewella, 2014).

Permasalahan disrupsi di atas tentunya sangat mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Kemunculan digitalisasi sebagai disrupsi tentu saja perlu respon positif bagi pemerintah untuk melakukan reformasi birokrasi yang mengarah pada pelayanan digitalisasi (Firman, 2015). Pelayanan berbasis digitalisasi tentu saja menjadi tantangan bagi birokrasi untuk membentuk terobosan dan inovasi sehingga dapat mencapai tujuan negara dalam mensejahterakan masyarakat


C. Mengenal Generasi ASN Milenial

Jumlah para milenial atau angkatan yang lahir antara tahun 1981-2000 menurut Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2017 berjumlah 88 juta jiwa atau 33,75 persen dari jumlah penduduk Indonesia, seperti dikutip dalam buku Statistik Gender Tematik: Profil Generasi Milenial terbitan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan Badan Pusat Statistik 2018. Jumlah ini diperkirakan akan terus naik. ASN milenial memiliki keunikan dibandingkan generasi sebelumnya, misalnya soal kepiawaian dalam teknologi. Jika Generasi X (lahir 1961-1980) adalah generasi yang sangat menikmati televisi dan gempita media, maka generasi milenial ini lebih tertarik dengan digital marketing dan juga tayangan termasuk iklan yang berbasis video atau internet. ASN milenial umumnya tech savvy. Secara umum mereka adalah generasi yang tidak mengalami kondisi sulit, namun mereka peka dengan perubahan teknologi atau gadget..

ASN milenial memiliki attention span (rentang perhatian) yang lebih cepat dibandingkan generasi sebelumnya. Tentu hal ini membuat gaya komunikasi dan cara hidup mereka berbeda, oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika mereka juga berharap perkembangan diri yang lebih cepat, mereka ingin berganti posisi dan karir yang lebih cepat juga, dibandingkan generasi terdahulu. Hal senada dikemukakan dalam laporan yang dirilis Gallup di tahun 2016 berjudul: How Millenials Want to Work and Live, bahwa terdapat empat karakteristik utama ASN milenial, yaitu: 1) mereka tak punya keterikatan baik dalam pekerjaan maupun pada merek barang yang mereka beli; 2) para milenial saling terhubung berkat koneksi internet sehingga mereka memiliki perspektif global yang tergambar dalam interaksi mereka sehari-hari; 3) mereka ingin bebas dari aturan tempat kerja dan standar kinerja manajemen perusahaan; dan 4) mereka percaya kehidupan pekerjaan harus bermakna serta menghargai pengakuan.

ASN milenial kerap melontarkan ide atau gagasan segar yang dapat mendukung peningkatan kinerja di organisasi. Namun kemudian oleh generasi terdahulu sulit untuk memahami isu yang disampaikan oleh milenial, karena kurangnya dialog atau komunikasi. Tantangan dan tuntutan sebagai ASN milenial tentu tidak mudah. Ada tiga hal yang bisa dilakukan oleh ASN milenial untuk menumbuhkan optimisme dalam menghadapi tantangan sebagai ASN berkelas dunia, yaitu exit from comfort zone, constant learning, dan beyond the call of duty. Selain itu ASN milenial juga diharapkan mampu menguasai 10 keahlian khusus yang terkait dengan era digitalisasi yakni complex problem solving, critical thinking, creativity, people management, coordinating with others, emotional intelligent, judgement and decision making, service orientation, negotiation, and cognitive flexibility.

ASN milenial ini identik dengan pribadi yang terbuka, ingin serba cepat, multitasking, memiliki daya kreativitas tinggi, serta ketergantungan yang tinggi pada teknologi dan informasi. Selain itu, ASN milenial juga lekat dengan daya kritis, melihat melalui perspektif cara pandang yang berbeda. ASN milenial hadir dengan membawa perubahan terhadap gaya bekerja sektor pemerintahan yang hierarki dan statis menjadi lebih dinamis, pada akhirnya memaksa pemerintah untuk berubah. ASN milenial secara umum memiliki lima karakteristik: tech savvy, senang menerima masukan, tidak sabaran, progresif, dan tidak terlalu suka dengan mekanisme kerja yang berlaku (https://dailysocial.id/post/memahami-budaya-bekerja-milenial).

Selain itu, ASN milenial tergolong lebih menyukai ruangan terbuka untuk membuka potensi kolaborasi dan co-creation, senang bekerja di lingkungan yang pro terhadap pemakaian teknologi, dan yang terpenting mereka bekerja bukan karena sekadar dapat gaji. Budaya kerja generasi milenial juga dipengaruhi oleh sifat yang dimiliki dan nilai sosial yang dianutnya. Dalam dunia kerja, generasi millenial dianggap sebagai generasi yang tidak memiliki loyalitas pada perusahaan. Hal ini tidak sepenuhnya salah, karena mengingat generasi ini cenderung idealis dan memiliki sifat entitlement.

Penggunaan smart power oleh ASN milenial juga dibutuhkan dalam menghadapi tantangan global. ASN milenial yang sering disebut sebagai digital natives bisa memanfaatkan teknologi untuk membuka cakrawala berpikir dan memandang teknologi sebagai peluang untuk meningkatkan kompetensi, baik pengetahuan, keterampilan, maupun sikap dan perilaku. Selain dituntut untuk memiliki kemampuan intelektual dan skill yang mumpuni, ASN milenial harus memiliki kemampuan kolaboratif. Artinya, mereka lebih menyukai cara kerja yang cepat, fleksibel, dan dinamis harus bisa berkolaborasi dengan generasi terdahulu yang memiliki pola kerja berbeda (https://www.beritasatu.com/politik/636719/hadapi-tantangan-global-dibutuhkan-asn-yang-smart-power).


D. Peran AN Milenial Untuk Indonesia Emas 2045

Makna generasi milenial tidaklah statis, sebagaimana dalam pandangan umum dimana generasi milenial adalah mereka yang berada dalam batas usia tertentu Makna generasi milenial menurut Collin, selalu terhubung dengan hal-hal di luar pemuda (struktur sosial, serta proses dan konvensi sosial mengenai kepemudaan) selain terhubung dengan cara bagaimana mengidentifikasi diri mereka sendiri (Collin, 2015). Setiap generasi juga akan selalu bernegosiasi dengan perubahan sosial dimana nilai-nilai yang lama seringkali kurang relevan dalam konteks kontemporer. Kedua hal ini membentuk kesadaran yang berbeda antar generasi sehingga konflik generasi seringkali muncul. Mannheim menjelaskan bahwa ada kemungkinan konflik ini bertranformasi menjadi dorongan politik (political force) serta gerakan sosial yang melintasi kelas sosial dan menjadi agen bagi terciptanya perubahan sosial dalam masyarakat.

Demikian pula yang dikemukakan oleh Benedict Andreson (2019) dalam Revoloesi Pemoeda bahwa pemuda merupakan sumber kekuatan utama revolusi. Dan tentunya masih terekam dengan jelas gerakan reformasi 1998 yang memakan korban sejumlah pemuda dan menjadi titik balik demokrasi di Indonesia, (Widodo, 2012). Tonggak sejarah Indonesia tentunya memberikan gambaran bahwasannya pemuda memiliki peran yang penting dalam proses transformasi sosial dari mulai pra kemerdekaan sampai pada pasca reoformasi. Pada tiap zaman di Indonesia terdapat gerakan pemuda yang memberikan kontribusi penting pada perubahan di Indonesia. Sebut saja pada tahun 1920 adanya pengibaran bendera merah putih, 1928 sumpah pemuda, 1945 kemerdekaan Indonesia, 1966 pergerakan orde baru, 1974 gerakan malari, dan 1998 gerakan reformasi menggulingkan orde baru.

Selalu ada pertanyaan retoris pada setiap proses perubahan dalam tubuh birokrasi. Apakah perubahan harus dimulai dari orang atau sistemnya terlebih dulu. Selayaknya pertanyaan tersebut bisa dijawab tanpa harus dalam biner hitam-putih. Untuk melalukan sebuah perubahan fundamental, keduanya perlu dilaksanakan beriringan. Sumber daya manusia yang andal wajib adanya sebagai agensi dalam melakukan perubahan-perubahan dan inovasi dalam birokrasi. Begitupula sistem yang baik dapat menjadi platform perubahan yang mampu merawat konsistensi dan komitmen kinerja para birokrat.

Birokrasi Indonesia sedang dalam proses melakukan inovasi dalam memberikan pelayanan publik. Hal ini ditandai dengan dirilisnya 8 (delapan) area perubahan birokrasi dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pedoman Evaluasi Reformasi Birokrasi Instansi Pemerintah yang pada dasarnya saling berkelindan antara relasi manusia dan sistem. Delapan area tersebut yaitu soal 1) Manajemen Perubahan; 2) Penataan Peraturan Perundang-undangan, 3) Penataan dan Penguatan Organisasi, 4) Penataan Tata Laksana, 5) Penataan Sistem Manajemen SDM, 6) Penguatan Akuntabilitas Kinerja, 7) Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, 8) Penguatan Pengawasan. Masing-masing dari instansi pemerintahan kini berproses dalam menentukan stratregi, program dan pencapaian indikator keberhasilan delapan area ini agar tercipta hasil yang dikehendaki yakni Birokrasi dinamis berbasis teknologi digital untuk menciptakan pelayanan publik yang berkualitas.

Penciptaan birokrasi dinamis berbasis teknologi menurut Prasojo (2020) memiliki setidaknya enam indikator yaitu Kapabilitas/keahlian, Budaya (Tidak Korup), Kebijakan (adaptif dan terintegrasi antar unit), Organisasi berbasis Kinerja, Multistakeholder Partnership (collborative) dan Joint and Integrated Budgetary System. Ke enam indikator tersebut tentunya mengarahkan birokrasi untuk mengimplementasikan flexible working dalam menciptakan pelayanan publik. Flexible working hanya dapat dijalankan dengan memanfaatkan teknologi berbasis digital atau elektronik. Dalam konteks birokrat muda, generasi milenial yang terjun menjadi abdi negara dapat mengisi peran dalam menciptakan birokrasi dinamis berbasis teknologi untuk menciptakan flexible working.

Flexible Working pada dasarnya dijadikan pola kerja bagi lembaga non pemerintahan seperti HM Sampoerna, Wiradaya, Bank BTPN dan Surabaya Plaza Hotel. Annette Blokland pada tahun 2018 melalui artikel forbes menjelaskan bahwasannya sebanyak 70% generasi muda tertarik untuk bekerja pada organisasi yang menerapkan Flexible Working sehingga dapat berinovasi (Irawati, 2019).

Para pemuda juga tergolong idealis dengan pola relasi kerja yang humanis. Sebagai generasi yang tumbuh besar dengan keleluasaan informasi, mereka berkarakter open minded (Perdana, 2019). Keleluasaan informasi dan open minded tentu saja menjadi faktor utama dalam penerapan flexible working. Implementasi flexible working memerlukan dua variabel yaitu inovasi dan pemanfaatan teknologi. Inovasi melalui Flexible working setidaknya memerlukan penghapusan gaya organisasi tradisional yang mengharuskan karyawan datang ke kantor. Birokrasi perlu mengubah pola tradisional tersebut untuk lebih terbuka, adaptif, dan juga responsif terhadap perubahan. Variabel kedua dalam bentuk teknologi tentu saja menjadi alat dalam penerapan flexible working agar terintegrasi antara pemimpin dan pegawainya (Prasetya & Cardima, 2020; Driyanti, et.al, 2020).

Penerapan flexible working menurut Prasojo (2020) tentunya akan mengubah paradigma, proses kerja, serta pegawai untuk lebih inovatif dan memahami teknologi berbasis digital. Pada paradigma tentunya akan memunculkan tata kelola yang dinamis dengan memanfaatkan jejaring sehingga memunculkan collaborative governance pada tiap instansi. Pada kelembagaan dan proses kerja tentunya akan berbasis pada teknologi dan flexible Arrangement. Sedangkan pada pegawai/birokrat memerlukan pemimpin generasi millenials dan baby boomers yang memahami teknologi berbasis digital serta dapat membangun jembatan antar generasi.

Karenanya, pemerintah harus berupaya agar ASN milenial yang matang dengan konsep Governance 4.0 ini diberikan kepercayaan mengelola birokrasi. Dengan ditempatkannya ASN milenial pada jabatan strategis, akan mampu mengimbangi tantangan Governance 4.0. Pada akhirnya transformasi manajemen birokrasi yang dinamis dengan berbasis pada Governance 4.0 akan menjadi kunci dalam menghasilkan ASN yang memiliki nilai-nilai luhur bangsa (berpikir kreatif, sistemik, evidence-based, berwawasan global, inklusif, etos kerja tinggi, produktif, dan pelayanan proaktif), professional, mampu mengelola perubahan, dan berintegritas tinggi di seluruh negeri menuju Indonesia Emas 2045 (Bappenas, 2019).