Tantangan ASN Milenial Untuk Indonesia Emas 2045

From ASN Encyclopedia, platform crowdsourcing mengenai ASN
Revision as of 12:59, 28 September 2021 by Bimoadiprianggoro (talk | contribs) (Ok)
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

The World Economic Forum tahun 2015 memprediksi Indonesia akan menempati urutan ke-8 ekonomi dunia di tahun 2020. Pernyataan ini didukung oleh Standard Chartered Bank yang memprediksi hal yang sama, sementara Goldman Sachs memprediksi Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi nomor tujuh dunia setelah China, Amerika Serikat, India, Brazil, Meksiko, dan Rusia. Prediksi ini tidak main-main. Salah satu pendukung kekuatan ekonomi adalah geliat e-commerce yang diyakini menjadi kekuatan ekonomi masa depan. Pada tahun 2015 pengguna internet di Indonesia telah mencapai 47,9% dari populasi atau sebanyak 93,4 juta orang dan diprediksi mengalami peningkatan hingga 140 juta pengguna di tahun 2020. Sedangkan berdasarkan data 2017 dari katadata.co.id diperkirakan pengguna ponsel telah mencapai 142% dari total populasi sebanyak 262 juta orang, dengan asumsi satu orang menggunakan dua hingga tiga kartu telpon seluler.

Jumlah para milenial atau angkatan yang lahir antara tahun 1981-2000 menurut Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2017 berjumlah 88 juta jiwa atau 33,75 persen dari jumlah penduduk Indonesia, seperti dikutip dalam buku Statistik Gender Tematik: Profil Generasi Milenial terbitan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan Badan Pusat Statistik 2018. Jumlah ini diperkirakan akan terus naik. ASN milenial memiliki keunikan dibandingkan generasi sebelumnya, misalnya soal kepiawaian dalam teknologi. Jika Generasi X (lahir 1961-1980) adalah generasi yang sangat menikmati televisi dan gempita media, maka generasi milenial ini lebih tertarik dengan digital marketing dan juga tayangan termasuk iklan yang berbasis video atau internet. ASN milenial umumnya tech savvy. Secara umum mereka adalah generasi yang tidak mengalami kondisi sulit, namun mereka peka dengan perubahan teknologi atau gadget.. Hal ini membuatnya berbeda dengan Generasi X dan Baby Boomers yang melewati jaman perang. ASN milenial sangat terpapar dengan teknologi, bahkan juga mengalami berbagai revolusi dalam teknologi, mulai dengan adanya komputer, informasi, dan kemudian internet.

ASN milenial memiliki attention span (rentang perhatian) yang lebih cepat dibandingkan generasi sebelumnya yang kita ketahui selama ini. Tentunya dalam hal ini membuat gaya komunikasi dan cara hidup mereka berbeda, oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika mereka juga berharap perkembangan diri yang lebih cepat, mereka ingin berganti posisi dan karir yang lebih cepat juga, dibandingkan generasi terdahulu. Hal senada dikemukakan dalam laporan yang dirilis Gallup di tahun 2016 berjudul: How Millenials Want to Work and Live, bahwa terdapat empat karakteristik utama ASN milenial, yaitu: 1) mereka tak punya keterikatan baik dalam pekerjaan maupun pada merek barang yang mereka beli; 2) para milenial saling terhubung berkat koneksi internet sehingga mereka memiliki perspektif global yang tergambar dalam interaksi mereka sehari-hari; 3) mereka ingin bebas dari aturan tempat kerja dan standar kinerja manajemen perusahaan; dan 4) mereka percaya kehidupan pekerjaan harus bermakna serta mereka menghargai adanya pengakuan.

ASN milenial kerap melontarkan ide atau gagasan segar yang dapat mendukung peningkatan kinerja di organisasi yang di tempati. Namun kemudian oleh generasi terdahulu sulit untuk memahami isu yang disampaikan oleh milenial karna adanya perbedaan era, karena kurangnya dialog atau komunikasi di antara junior dan seniornya. Tantangan dan tuntutan sebagai ASN milenial tentu tidak mudah. Ada tiga hal yang bisa dilakukan oleh ASN milenial untuk menumbuhkan optimisme dalam menghadapi tantangan sebagai ASN berkelas dunia, yaitu exit from comfort zone, constant learning, dan beyond the call of duty. Selain itu ASN milenial juga diharapkan mampu menguasai 10 keahlian khusus yang terkait dengan era digitalisasi yakni complex problem solving, critical thinking, creativity, people management, coordinating with others, emotional intelligent, judgement and decision making, service orientation, negotiation, and cognitive flexibility.

Mesin pemerintahan yang dijalankan oleh administrasi negara atau dengan istilah lain disebut sebagai birokrasi, adalah intsrumen pelaksana dari kebijakan politik yang dikendalikan oleh politisi yang menduduki jabatan-jabatan politik. Berfungsi untuk menyokong berjalannya pemerintahan. Jawaban dari mesin pemerintahan ini atas perkembangan yang terjadi dalam rangka melayani kebutuhan publik (perseorangan, kelompok, korporasi) mau tak mau harus terus menerus mengalami pembaharuan.

Kajian ini tidak ditujukkan dalam rangka melebihkan peran anak muda, tetapi untuk menggali kemungkinan-kemungkinan optimum yang bisa dilakukan secara realistis tentang apa yang bisa dikerjakan oleh birokrat-birokrat muda. Generasi muda yang mengabdi sebagai aparatur negara baik menjadi tumpuan dalam pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang lebih bersih, gesit dan adaptif. Di sisi lain dalam tempo 2030-2040 Indonesia diproyeksikan akan memasuki fenomena bonus demografi yang ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk produktif secara signifikan (Harsono, 2019). Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2017, jumlah generasi milenial mencapai sekitar 88 juta jiwa atau 33,75 pesen dari total penduduk Indonesia. Dalam hal ini, idealnya semakin melimpahnya SDM usia produktif berpengaruh positif untuk pembangunan dan masa depan Indonesia Birokrasi Indonesia memiliki target yang besar. Merujuk pada Road Map Reformasi Birokrasi, mimpi birokrasi Indonesia adalah mencapai fase birokrasi kelas dunia, birokrasi yang memiliki semangat dynamic governance yang kuat

Kondisi dan kultur birokrasi masih kesulitan untuk mengikuti langkah milenial yang kian hari melaju kencang sebab birokrasi masih muncul dengan rumit di meja-meja terpisah oleh fungsi. Citra akan alur panjang, lamanya waktu, dan kelambanan masih melekat pada birokrasi di instansi pemerintah. Apa yang sering kita sebut sebagai reformasi birokrasi harus terus disuarakan dan implementasikan secara cepat dan masif pada jajaran birokrasi di pusat dan daerah. Pembahasan itu bisa dimulai, salah satunya lewat apa yang disuarakan Schwab (2015) bahwa I can't imagine a topic more important than the relationship between government and innovation. Hadirnya inovasi pada jajaran birokrasi lebih banyak disebabkan bagaimana cara pemerintah memperlakukan teknologi, semisal teknologi digital. Hubungan antara teknologi, inovasi, dan sektor publik jadi keniscayaan. Sayangnya, inovasi itu secara tidak sengaja tidak diperbolehkan ada oleh pola pikir dan sejumlah aturan dalam birokrasi itu, seperti aparaturnya yang tidak menjadikan internet sebagai suatu kebutuhan sehari-hari. Minimnya inovasi pun karena aparatur yang keliru mengartikan semangat kewirausahaan (entrepreneurship spirit) dalam sektor publik.

Pola pikir bahwa tugas aparatur bukan mencari keuntungan seperti pada sektor privat memang benar. Namun, semangat kewirausahaan dimaksudkan supaya, misalnya, menurut Osborne dan Gaebler (2003) dalam bukunya Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector, hadirnya inovasi dalam memberikan pelayanan dengan kualitas prima. Perlunya persaingan dalam pemberian pelayanan. Era 4.0 ketika segala sesuatu berdasarkan internet (internet of thing/IoT) serta cloud system jadi makanan sehari-hari bagi generasi milenial di birokrasi. Namun, bila kita lihat data PBB saat melansir peringkat EGDI (E-Government Development Index) berdasarkan survei 2016, Indonesia ada di peringkat ke-116 EGDI. Peringkat itu turun 10 tingkat jika dibandingkan dengan 2014, yakni ke-106. Kondisi ini masih jauh di bawah Malaysia (peringkat ke-60) dan Filipina (71). Artinya, sektor publik di Indonesia harus bekerja keras membangun sistem e-government. Masih belum banyaknya ASN yang kompeten di bidang teknologi dan informatika harus jadi catatan bagi pengambil kebijakan di pusat dan daerah.


ASN milenial ialah ASN yang memiliki kepercayaan diri tinggi, fokus pada prestasi, optimistis, dan lebih suka bekerja sama dalam tim. Intensitas tinggi dengan teknologi dan memiliki wawasan serta jaringan berskala global menjadi nilai tambah yang harus dioptimalkan pengambil kebijakan pada sektor publik. Untuk mendukung pemanfaatan kapabilitas generasi milenial di pemerintahan, dibutuhkan peran pemimpin dalam mengatur sumber daya aparaturnya agar roda organisasi birokrasi berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Gaya kepemimpinan yang dikenal masyarakat antara lain gaya karismatis yang memicu pengikutnya dengan memperlihatkan kemampuan heroik atau luar biasa (Robbins, 2006). Menurut Robbins, gaya kepemimpinan yang juga populer ialah visioner, yakni gaya kepemimpinan yang mampu mengartikulasikan visi realistis, kredibel, dan menarik mengenai masa depan organisasi yang tengah tumbuh dan membaik daripada saat ini. Gaya kepemimpinan visioner sangatlah diperlukan di pemerintahan bila birokrasi ingin menciptakan perubahan lebih optimal. Gaya kepemimpinan visioner sangat cocok disematkan kepada generasi Y karena sifatnya idealis, semangat menggebu dalam bekerja, dan mampu menyesuaikan diri dalam berbagai situasi dan kondisi.

Pembangunan birokrasi ke depan, dengan terus membesarnya jumlah millenial di birokrasi perlu melihat kecenderungan karakteristik generasi millenial dengan ketersambungan mereka dengan dunia internet. Tidak hanya sifatnya yang connected, pembangunan birokrasi juga melihat karakter masa depan SDM birokrasi yang confident dan creative. 8,11% aset sumber daya manusia dari generasi millenial yang saat ini ada di birokrasi pemerintah perlu dilihat sebagai gejala perubahan apalagi jika disandingkan dengan agenda reformasi birokrasi pemerintah selama ini menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah perlu melihat adanya generasi millenial dalam beberapa hal, pertama 8,11% generasi millenial walaupun masih menjadi minoritas di birokrasi adalah agen perubahan birokrasi sendiri. Mereka yang akan menerima estafet kepemimpinan di birokrasi sehingga perlu melihat karakter mereka dalam kerangka shifting generation dalam birokrasi. Kedua, karakter connected, confident dan creative generasi millenial adalah karakter yang perlu dilihat oleh agenda reformasi birokrasi sebagai momentum reformasi lebih masif lagi, memanfaatkan hal yang melekat dalam generasi millenial tersebut sebagai bagian agenda untuk mensukseskan reformasi birokrasi ke depan. Ketiga, shifting generation yang perlu dilihat dengan baik oleh pemerintah, jangan sampai justru bukan akselerasi millenial untuk bekerja di birokrasi dengan baik tetapi justru muncul adanya resistensi yang merugikan organisasi sendiri