TANTANGAN MENUJU INDONESIA EMAS TAHUN 2045
Realisasi menuju Indonesia Emas 2045 memerlukan investasi fisik maupun non-fisik. Investasi yang terpenting adalah investasi dalam pembangunan sumber daya manusia. Investasi sumber daya manusia adalah yang bersifat meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya. Investasi sumber daya manusia seringkali dikenal sebagai upaya untuk meningkatkan modal manusia (human capital). Investasi modal manusia bersifat kumulatif, yang harus dipupuk sejak awal dan berlangsung terus menerus. Investasi sumber daya manusia tidak hanya di bidang pendidikan dan kesehatan, tetapi juga meliputi bagaimana manusia dibentuk dan dididik sehingga berperilaku produktif.
ASN Indonesia terdiri dari beberapa lapis generasi. Generasi yang biasa kita dengar adalah generasi baby boomers dan generasi milenial. Masing-masing generasi ASN ini memiliki sikap dan perilaku yang berbeda. ASN generasi Baby boomers memiliki sikap dan perilaku yang mengedepankan tata krama birokrasi dan cenderung memiliki karakter idealis. Mereka cenderung memegang teguh prinsip yang mereka anut, khususnya terkait dengan budaya kerja yang sudah turun temurun. Selain itu mereka juga memiliki pola pikir konservatif, karena itulah generasi ini cenderung lebih berani mengambil resiko dibanding dengan generasi lain. ASN generasi baby boomers masih banyak menggunakan cara konvensional seperti membaca melalui koran atau buku dan menonton televisi.
Berbeda dengan ASN generasi milenial. ASN generasi milenial memiliki sikap dan perilaku yang lebih kreatif, melek teknologi, dan memprioritaskan work life balance. ASN generasi milenial memiliki kemampuan bawaan untuk menggunakan teknologi, multitasking, nyaman saat menggunakan beragam media digital. Generasi milenial tidak memiliki dorongan gila kerja, tetapi mereka berusaha menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan pribadinya dengan menggunakan banyak teknologi untuk menyelesaikan pekerjaan mereka dengan cepat. ASN generasi milenial lebih banyak menggunakan smartphone. Bahkan segala hiburan dan kegiatan sosial dapat mereka dapatkan dalam satu genggaman.
Perbedaan sikap dan perilaku yang sangat bertolak belakang antara generasi baby boomers dan generasi milenial merupakan tantangan dalam mewujudkan Indonesia Emas Tahun 2045. Dimana ASN baby boomers menganggap bahwa ASN milenial tidak menjunjung etika dan norma pergaulan dan menilai sikap dan perilaku ASN milenial tidak selaras dengan budaya birokrasi yang mengakar secara formal dalam mengatur kebiasaan berperilaku. Sebaliknya, ASN generasi milenial menganggap bahwa ASN generasi baby boomers sebagai generasi yang arogan, resisten terhadap perubahan, memiliki keyakinan benar terhadap pengalaman, serta kurang kreatif. Potensi konflik dan cara pandang tersebut sangat mungkin terjadi di dunia kerja pada interaksi antar generasi. Konflik akan mudah dihindari apabila perbedaan dapat dikelola dengan baik sehingga menjadi sebuah interaksi yang produktif dan bersinergi untuk dunia kerja. Kolaborasi antar generasi sangat diperlukan untuk dapat meningkatkan kinerja instansi meskipun hal tersebut tidaklah mudah. Generasi baby boomers yang telah memiliki lebih banyak pengalaman perlu dimotivasi untuk dapat berbagi pengetahuan dan pengalaman terhadap generasi milenial, namun tidak menutup diri untuk beradaptasi dengan berbagai teknologi yang dikuasai oleh generasi milenial. Sebaliknya, generasi milenial pun perlu membuka diri untuk menerima berbagai pengetahuan dan pengalaman dari para seniornya.
Kolaborasi antar generasi meskipun bukanlah hal yang mudah namun sangat diperlukan untuk dapat meningkatkan kinerja instansi. Melalui kolaborasi antar generasi, pegawai senior pada generasi baby boomers dan generasi junior (milenial) dapat saling berbagi pengetahuan dan pengalaman sekaligus beradaptasi dengan teknologi masa kini sehingga dapat meningkatkan kompetensi dan kinerja masing-masing generasi tersebut. Dengan memanfaatkan kolaborasi antar generasi, maka visi untuk mewujudkan aparatur berkelas dunia yang unggul dan memiliki daya saing dapat dengan mudah diwujudkan.
Institusi merupakan organisasi pelaksana penentu yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Hal ini berarti bahwa terdapat berbagai kegiatan baik itu sosialisasi kebijakan, pengetahuan kebijakan maupun pelaksanaan kebijakan itu sendiri. Tetapi terkadang hal ini menjadi hambatan ketika para pelaksana belum memahami sepenuhnya tentang kebijakan yang akan dilaksanakan. Seringkali ketika kebijakan itu disusun, berbagai aktor kebijakan memiliki tujuan masing-masing untuk memenuhi kebijakan tersbeut, sehingga yang terjadi adalah bukan kebijakan yang tertuju kepada kepentingan masyarakat, tetapi “hanya” kepentingan berbagai aktor yang terlibat dalam penyusunan tersebut. Banyaknya penilaian negatif terhadap budaya kerja para ASN dalam pelayanan publik merupakan suatu permasalahan yang harus diatasi oleh pemerintah. Ini terlihat dengan adanya anggapan bahwa para ASN bekerja masih dianggap sebagai sesuatu yang rutin. Bahkan di sebagian ASN, bisa jadi bekerja dianggap sebagai beban dan paksaan terutama bagi orang yang malas. Apabila alat ukur yang tepat dalam mengkategori budaya kerja yang berkualitas belum ditentukan, maka akan terlihat sebagian pimpinan dalam berbagai instansi pemerintah memberi tugas kepada pegawai di lingkungan instansinya tanpa melihat kemampuan yang dimiliki. Yang dipentingkan adalah asal itu bisa membuat posisi sang pimpinan aman dan terkendali.
Keadaan ini juga dapat kemungkinannya disebabkan ketidakmampuan pemerintah untuk melakukan perubahan struktur, norma, nilai bagi pegawai, telah menyebabkan gagalnya upaya untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Sehingga muncul anggapan masyarakat bahwa kualitas dan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik masih jauh dari harapan. Masih belum tercipta budaya pelayanan publik yang berorientasi pada kebutuhan pelanggan (service delivery culture). Sebaliknya, yang terbentuk adalah obsesi para birokrat dan politisi untuk mengalihkan birokrasi sebagai lahan pemerintahan hasrat dan kekuasaan (power culture). Membentuk budaya kerja hanya dapat dilakukan jika dalam instansi pemerintah tersebut memiliki norma atau nilai yang menjadi modal dasar penerapan budaya kerja, sehingga jika norma dan nilai tersebut sudah dimiliki selanjutnya diperlukan komitmen dari pimpinan instansi pemerintah untuk menerapkan secara sungguh-sungguh pada instansi yang dipimpinnya. Membangun budaya kerja atau menumbuhkan nilai-nilai yang baik dalam suatu instansi pemerintah masih sangat sulit untuk diterapkan dengan mengandalkan kesadaran dari dalam diri ASN itu sendiri. Berbagai peraturan yang dibuat secara tertulis dan dijelaskan apa yang harus dan apa yang dilarang untuk dilakukan, serta dengan konsekuensi sanksi yang diberikan jika terjadi pelanggaran atas aturan tersebut, dianggap sebagai formalitas atau pelengkap administrasi saja karena setiap aturan yang dibuat akan selalu ada usaha untuk mencari celah agar dapat dilanggar. Untuk itu penerapan budaya kerja dalam instansi pemerintah diharapkan mampu membantu merubah kebiasaan buruk yang masih menjadi kebiasaan yang telah membudaya di lingkungan birokrasi pemerintahan khususnya ASN sebagai pelaksananya. Masalahnya sekarang apakah setiap ASN mau untuk berubah kearah yang lebih baik?