Hidup di Era Ketidakpastian
Hidup di Era Ketidakpastian
Ketidakpastian merupakan frasa tepat untuk menggambarkan keadaan masyarakat Indonesia yang tengah berada dalam situasi pandemi Covid-19. Masyarakat dihadapkan pada ketidakpastian finansial, tempat tinggal, hingga pekerjaan. Ketidakpastian ini terjadi secara mendadak, sehingga masyarakat belum siap menghadapi situasi yang belum pasti ini atau dapat disebut juga dengan anomi. Meskipun tidak siap, masyarakat harus menyesuaikan diri dengan cepat terhadap kondisi ketidakpastian. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apa yang mendorong terjadinya fenomena ketidakpastian selama masa pandemi Covid-19 dan seperti apa akibat yang ditimbulkan oleh ketidakpastian tersebut?
Kontekstualisasi Covid-19
Kondisi ketidakpastian ini sesuai dengan situasi pandemi Covid-19 di Indonesia. Negara memiliki peran besar dalam ketidakpastian. Hal ini dapat dilihat pada Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) daripada Karantina Wilayah yang sebenarnya menandai runtuhnya keyakinan tradisional tentang negara. Dahulu negara dipahami sebagai tempat mencari keamanan dan kepastian, sekarang anggapan itu perlu direvisi. Hal itu utamanya disebabkan oleh pemilihan PSBB yang memungkinkan negara tidak menanggung kebutuhan dasar warga negaranya sendiri selama masa pandemi. Ketidakmauan negara untuk memberikan jaminan ekonomi membuat warga negara terjun bebas ke dalam jurang ketidakpastian. Banyak masyarakat yang kemudian menggelandang karena tidak mampu bayar sewa kos, penghasilan pekerja-khususnya pekerja informal-berkurang drastis sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, sampai terkatung-katungnya nasib warga yang tidak mampu membayar biaya pendidikan.
Bukti kedua adalah ketidakmampuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengeluarkan produk legislasi yang mampu memberi keamanan pada masyarakat sipil. Alih-alih memproduksi kebijakan penanganan Covid-19, DPR justru meloloskan Revisi UU Minerba yang jelas-jelas tidak penting dalam situasi seperti ini. Akibatnya sangat fatal; banyak urusan yang harusnya bisa diatasi malah terbengkalai. Dan masyarakat merupakan entitas utama yang paling terdampak. Dua juta orang sampai sejauh ini telah dipecat atau dirumahkan, jumlah pasien positif Covid-19 terus bertambah setiap harinya, bantuan sosial berantakan, orang dibiarkan bekerja tanpa keamanan, sirkulasi orang diperluas ketika tren belum mengizinkan. Efek ekonomi dan sosial yang semakin besar serta tidak adanya langkah pasti yang diambil oleh DPR membuat masyarakat sipil merasakan situasi ketidakpastian hidup. Mereka yang dipecat tidak tahu lagi mau mencari pekerjaan kemana, pekerja di bawah usia 45 yang “dipaksa” untuk bekerja merasakan ketidakpastian kesehatan, dan pelonggaran PSBB yang dibiarkan oleh DPR ikut mengancam rencana pemulihan dari pandemi Covid-19. Kondisi seperti ini bisa jadi berlangsung lebih lama jika pemerintah serta DPR masih diam saja di tengah lautan tuntutan untuk menangani Covid-19 dengan tegas dan profesional.
Semua itu mengantarkan kita pada satu landasan dasar individualisasi, yaitu detradisionalisasi. Sebuah situasi di mana kehadiran atau pengaruh negara seperti sudah tidak dirasakan lagi. Bertolak dari kondisi tersebut masyarakat kemudian berperan aktif, mengambil peran yang dulu diemban oleh negara. Daripada menunggu mereka bergerak cepat, waspada, dan cekatan; insting refleksif mulai memainkan peran utama. Solidaritas Pangan Jogja, Gugus Tugas Covid-19 NU dan Muhammadiyah, Kawal Covid-19 hanyalah sebagian kecil dari bongkahan besar keaktifan masyarakat sipil. “Warga bantu warga”, itulah slogan utama mereka. Dari slogan tersebut kita tahu bahwa detradisionalisasi sedang berlangsung karena “negara” secara eksplisit tidak diinjeksikan ke dalam kalimat tersebut. Hidup dengan cara saling bantu membantu antar warga, inilah hidup di era ketidakpastian.
Agus Munandar (talk) 15:35, 9 March 2021 (WIB)