Memetik Pembelajaran dari Pandemi Covid-19
Ketika tulisan ini dibuat, dunia masih tengah berjuang mengendalikan pandemi Covid-19. Perbincangan cenderung berfokus pada dampak negatif yang ditimbulkannya, misalnya pertambahan kasus infeksi baru dan peningkatan kasus kematian sehingga semakin menciptakan tekanan psikologis dan ketakutan di masyarakat. Namun dibalik itu, pandemi virus ini juga menciptakan kondisi yang memaksa kita untuk belajar dengan cepat melalui berbagai cara darurat yang perlahan namun pasti mengarah ke cara dan perilaku normal baru. Pengetahuan mengenai peran teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran dan pekerjaan bukanlah hal baru. Namun ketika itu, hanya sebatas wacana, bahan kuliah atau diskusi dalam seminar. Kesadaran penuh akan hal ini terbangun ketika pandemi Covid-19 melanda. Pembatasan Sosial Berskala Besar atau istilah lainnya membatasi ruang bekerja, belajar dan beribadah. Pada awalnya sebagian menyangsikan kemampuan sumber daya manusia, terutama aparatur sipil negara (ASN) untuk mendayagunakan teknologi dimasa Pandemi Covid-19. Namun asumsi tersebut terbantahkan karena kenyataannya dalam situasi keterpaksaan bahkan generasi ASN pra-millennial yang sering dilabel gagap teknologi mampu cepat beradaptasi dengan teknologi digital. Bekerja dari rumah dan pelatihan ASN tetap dapat berlangsung secara berjarak dengan memanfaatkan jaringan Internet.
Bagi generasi millennial ASN yang merupakan digital native, kemampuan ini berkembang secara alami karena mereka terlahir di era digital. Tetapi bagaimana dengan generasi digital migrant? Kompetensi digital mereka tidak diperoleh melalui pelatihan formal, tetapi berkembang secara instan melalui cara informal yang tidak terstruktur, diantaranya dengan melihat atau bertanya kepada orang-orang yang mampu di sekitar mereka. Kekuatan pembelajaran informal yang tidak terstruktur tersebut selama ini kurang diapresiasi dan belum mendapatkan porsi memadai dalam sistem pengembangan kompetensi ASN. Kompetensi seorang pegawai masih dominan dinilai dari pendidikan formal dan pelatihan yang pernah diikuti.
Pandemi Covid-19 ini hanyalah suatu peristiwa yang menyadarkan kita betapa “belajar sambil bekerja dan bekerja sambil belajar” (Firdaus: Fajar 29 Juni 2018) perlu mendapatkan tempat dan pengakuan dalam sistem pengembangan kompetensi ASN. Di dalamnya tersimpan kekuatan yang mampu mendukung pembelajaran secara eksperiensial, kontekstual, berbasis permasalahan, dan tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Relevansinya dengan pekerjaan dan kontribusinya pada pencapaian visi dan tujuan organisasi tidak diragukan karena proses belajar terjadi di tempat kerja dimana hasil pembelajaran akan diaplikasikan. Segala kompleksitas pekerjaan dan tempat kerja tidak direduksi tetapi dihadapi apa adanya sehingga pengetahuan tacit pegawai berkembang dan membuatnya lebih tangguh menghadapi tantangan pekerjaan. Hal ini berbeda dengan pembelajaran formal dalam ruang kelas pelatihan yang hanya menghadirkan konteks pekerjaan secara terbatas, misalnya dalam bentuk studi kasus yang diserderhanakan, kunjungan singkat ke lokus tertentu dan aktivitas pembelajaran semacamnya.
Sebenarnya, terabaikannya pembelajaran informal ini bukan sepenuhnya karena kurang disadari keberadaan dan potensi manfaatnya. Akan tetapi juga disebabkan oleh organisasi pemerintah yang berbentuk birokrasi yang mengharuskan segala urusan berbasis “legal formal”. Pembelajaran informal sulit dilegalkan dan diformalkan karena sifatnya kurang terstruktur. Hal ini menyulitkan proses validasi untuk memberikan pengakuan sebagai bentuk pemenuhan hak pengembangan kompetensi pegawai. Berbeda dengan pelatihan formal yang jelas kurikulum, bahan ajar, pengajar, peserta, dan jadwalnya.
Namun memvalidasi pembelajaran informal dalam kerangka formal birokrasi pemerintah bukanlah hal yang mustahil. Kita hanya perlu sekali lagi belajar dari kemampuan kita beradaptasi dengan kondisi sulit yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19. Solusinya sudah ada dan menunggu untuk ditemukan dengan syarat kita menjadikan kebutuhan akan solusi tersebut sebagai sesuatu yang mendesak dan memaksa.
Setidaknya ada dua hal utama yang perlu dilakukan. Pertama, mentransformasikan organisasi pemerintah menjadi organisasi pembelajar. Organisasi pembelajar inipun selama ini masih sebatas wacana, tetapi bisa diwujudnyatakan bilamana transformasi berbasis pada perubahan kultur, bukan struktur. Organisasi harus bermetamorfosa menjadi tempat belajar mengenai pekerjaan. Kesempatan belajar seluas-luasnya harus dibuka baik dalam bentuk fisik melalui penataan ruang dan halaman kantor yang memungkinkan interaksi maksimal antar pegawai, maupun non fisik dalam bentuk penataan ruang sosial dan psikologis yang memberikan rasa aman bagi pegawai untuk berpendapat, berdebat bereksperimen atau bahkan melakukan kesalahan kecil untuk belajar memperbaikinya. Yang kedua ini jauh lebih rumit, butuh waktu dan komitmen penuh pimpinan.
Kedua, prinsip-prinsip belajar informal yang tidak terstruktur perlu dibaurkan ke dalam proses pembelajaran pada pelatihan formal. Dengan cara ini keunggulan pembelajaran informal tetap dapat dinikmati pada satu sisi, dan pada sisi lainnya dapat divalidasi dan dakui dalam sistem pengembangan kompetensi ASN secara formal. Bentuk pembelajaran melalui studi kasus, penugasan, pertukaran pegawai, coaching, mentoring adalah diantara bentuk-bentuk pembelajaran yang kaya akan elemen pembelajaran informal, tetapi memungkinkan diintegrasikan ke dalam sistem pengembangan kompetensi formal. Perpaduan antara kedua strategi di atas dapat memberikan peluang belajar yang utuh bagi pegawai ASN.
Jika petaka pandemi Covid-19 hanya meninggalkan luka bagi masyarakat, maka generasi ini akan tercatat dalam sejarah sebagai generasi lemah. Untuk itu, wacana perlu diarahkan ke hal positif seraya mengeksplorasi peluang-peluang unik dibalik kesulitan ini. Dengan demikian, pasca pandemi Covid-19 kita akan memiliki modal hasil pembelajaran positif untuk mencatatkan diri dalam sejarah peradaban manusia sebagai generasi unggul yang tahan pandemi dan tangguh akan bencana lainnya.