Difference between revisions of "Harmonisasikebijakan di bidang SDM"
(SEJARAH PERKEMBANGAN MSDM) |
|||
Line 22: | Line 22: | ||
Lingkungan bisnis baru pasca Perang Dingin, dikombinasikan dengan pemakaian secara luas komputer dan internet untuk kepentingan komersial, secara radikal telah mengubah cara perusahaan melakukan bisnis. Dan manajemen tenaga kerja tidak kebal terhadap perubahan ini. Meningkatnya jumlah perusahaan di bidang jasa, masuknya lebih banyak wanita ke dalam dunia kerja, dan perubahan-perubahan yang lain membuat paradigma manjemen SDM tradisional menjadi kuno. Berbeda dengan perilaku pada awal tahun 1900-an ketika pekerja menjadi kurang berguna dibandingkan dengan mesin-mesin industri, pekerja berketerampilan tinggi dan berpengetahuan kini mengendalikan mesin, dan dengan mudahnya menguasai teknologi, keahlian pekerja seperti ini sekarang menjadi sumber keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Departemen SDM berusaha menahan pekerja berpengetahuan dengan memberikan lingkungan kerja kondusif, memperluas lingkup pekerjaan, menyampaikan tujuan organisasi secara jelas, mendorong terjadinya inovasi, dan intervensi melalui perilaku yang lain. The “Harvard Model” dari Beer et al (1984) atau Soft HRM, membantu untuk memimpin orang melalui komunikasi dan motivasi dan bukan memanajemeni mereka. Ini yang menandai pendekatan manajemen SDM strategik. Pendekatan ini menganggap karyawan sebagai aset, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sumber daya. Perpindahan dari manajemen SDM tradisional menuju manajemen SDM strategik masih menjadi tren hingga kini. | Lingkungan bisnis baru pasca Perang Dingin, dikombinasikan dengan pemakaian secara luas komputer dan internet untuk kepentingan komersial, secara radikal telah mengubah cara perusahaan melakukan bisnis. Dan manajemen tenaga kerja tidak kebal terhadap perubahan ini. Meningkatnya jumlah perusahaan di bidang jasa, masuknya lebih banyak wanita ke dalam dunia kerja, dan perubahan-perubahan yang lain membuat paradigma manjemen SDM tradisional menjadi kuno. Berbeda dengan perilaku pada awal tahun 1900-an ketika pekerja menjadi kurang berguna dibandingkan dengan mesin-mesin industri, pekerja berketerampilan tinggi dan berpengetahuan kini mengendalikan mesin, dan dengan mudahnya menguasai teknologi, keahlian pekerja seperti ini sekarang menjadi sumber keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Departemen SDM berusaha menahan pekerja berpengetahuan dengan memberikan lingkungan kerja kondusif, memperluas lingkup pekerjaan, menyampaikan tujuan organisasi secara jelas, mendorong terjadinya inovasi, dan intervensi melalui perilaku yang lain. The “Harvard Model” dari Beer et al (1984) atau Soft HRM, membantu untuk memimpin orang melalui komunikasi dan motivasi dan bukan memanajemeni mereka. Ini yang menandai pendekatan manajemen SDM strategik. Pendekatan ini menganggap karyawan sebagai aset, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sumber daya. Perpindahan dari manajemen SDM tradisional menuju manajemen SDM strategik masih menjadi tren hingga kini. | ||
+ | |||
+ | [[User:Sampowali|Sampowali]] ([[User talk:Sampowali|talk]]) 10:50, 14 October 2022 (WIB) | ||
[[User:Banna|Banna]] ([[User talk:Banna|talk]]) 08:07, 13 October 2022 (WIB) | [[User:Banna|Banna]] ([[User talk:Banna|talk]]) 08:07, 13 October 2022 (WIB) |
Revision as of 10:50, 14 October 2022
Peran MSDM telah mengalami perubahan sejalan dengan munculnya berbagai perkembangan. Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama di bidang transportasi dan komunikasi telah memperkecil jarak antar bangsa. Persaingan menjadi semakin terbuka dan lingkungan bisnis semakin kompleks. Peran SDM yang lebih besar dari sebelumnya sangat diperlukan. Semula SDM yang lebih besar dari sebelumnya sangat diperlukan. Semula SDM dipandang sebagai biaya, namun saat ini SDM merupakan investasi yang harus ada dan syarat mutlak berlangsungnya operasi organisasi.Dulu tenaga kerja dieksploitasi, hubungan kerja terjadi antara buruh dan majikan, tetapi sekarang tenaga kerja dipelihara dan merupakan mitra kerja organisasi. Makin besarnya peran MSDM merupakan akibat yang tidak dapat dihindarkan dari berbagai perusahaan yang terjadi.
Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) mulai tahun 2019 dan selanjutnya menjadi pengarusutamaan strategi pembangunan bangsa Indonesia ke depan, pilihan strategi tersebut diupayakan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Urgensi pembangunan sumber daya manusia menjadi faktor kunci dalam memenangkan persaingan global, yang membawa konsekuensi semakin ketatnya persaingan ditengah ketidakpastian, langkah strategis ini sudah selayaknya mendapatkan dukung penuh dari seluruh pemangku kepentingan.
Penguatan sumber daya manusia menuju manusia unggul memiliki korelasi yang erat dengan peningkatan produktivitas kerja, dalam memenangkan persaingan ditengah perubahan-perubahan yang berlangsung cepat dalam dunia bisnis, ekonomi politik dan budaya. Di tengah gejolak ekonomi dunia yang semakin bersaing, Indonesia dituntut untuk tetap konsisten menaikkan angka pertumbuhan ekonomi, guna menjawab masalah peningkatan kesejahteraan rakyat. Hal ini berbarengan dengan derasnya harapan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju dengan potensi bonus demografi dan anugerah sumber daya alam.
Harapan ini tidaklah berlebihan bila melihat capaian pembangunan yang telah berhasil diraih oleh bangsa Indonesia dalam waktu akhir-akhir ini, dan juga beberapa prediksi lembaga survei asing, yang memproyeksikan Indonesia akan sejajar dengan Cina dan Amerika Serikat sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2030
SEJARAH PERKEMBANGAN KEBIJAKAN DI BIDANG MSDM
Manajemen Personalia (Awal Abad ke-20)
Hingga awal tahun 1900-an, meningkatnya persaingan dan tekanan untuk memenuhi pesanan dari pembeli, membuat para pemilik pabrik membuat catatan serius tentang produktivitas, dan isu seperti absensi dan keluar masuknya pekerja. Filosofi yang banyak dianut saat itu adalah bahwa pekerja akan menerima standar yang ketat dan akan bekerja lebih cepat jika dilatih dan diberi upah lebih besar. Pendekatan ini mula-mula ditawarkan oleh Frederick W Taylor. Ia melakukan time and motion study sebagai upaya untuk mengembangkan cara-cara yang produktif dalam menangani proses produksi. Departemen personalia pada masa itu adalah alat para majikan untuk memastikan adanya produktivitas secara maksimal. Bersamaan dengan diadakannya pelatihan-pelatihan dan peningkatan upah, hal itu menekan pemogokan dengan memasukkan anggota serikat buruh ke dalam daftar hitam dan memaksa pekerja menandatangani kontrak “yellow dog” atau persetujuan untuk tidak bergabung ke serikat buruh. Manajemen personalia memainkan peran semakin profesional setelah Perang Dunia I dan resesi besar (great depression) pada awal 1930-an. Tuntutan produksi semasa perang telah menyebabkan dibuatnya ketetapan-ketetapan untuk memastikan bahwa soal-soal yang berkaitan dengan upah atau kondisi kerja tidak mempersulit produksi. Langkah-langkah pengamanan sosial setelah resesi besar adalah Norris-LaGuardia Act yang menilai kontrak “yellow dog” tidak boleh dipaksakan dan National Labor Relations Act (NLRA) atau Wagner Act tahun 1935 yang memberi pekerja hak membentuk serikat buruh dan melakukan tawar-menawar secara kolektif, dan mendaftar praktik-praktik perburuhan yang tidak adil. Elton Mayo, yang dianggap sebagai bapak hubungan antar manusia (human relations), telah melakukan penelitian terkenal antara 1924 hingga 1932 yang disebut sebagai Hawthorne Studies. Ia menyimpulkan bahwa faktor-faktor manusiawi atau non-uang adalah lebih penting dibandingkan dengan faktor-faktor fisik atau penghargaan berupa uang, dalam meningkatkan moril/semangat pekerja. Serikat-serikat pekerja kini mulai menolak rasa keadilan dari teori manajemen ilmiah Taylor, meminta para majikan untuk mengambil langkah pendekatan yang lebih berorientasi pada perilaku. Program personalia kini diperluas mencakup penggantian pengobatan, vaksinasi, liburan, bantuan perumahan, dan tindakan sejenis serta penerapan teori baru yang lebih berorientasi pada perilaku manusia. Perang Dunia II menciptakan masalah baru agar pabrik tetap berproduksi. Sementara banyak pria dipanggil untuk pergi berperang, posisinya yang lowong diisi oleh pekerja wanita dan penduduk asli Amerika. Ini yang mendasari dimulainya tenaga kerja multi ras/budaya, dan hal itu merupakan tantangan baru bagi departemen sumber daya manusia. Labor-Management Relations Act pada 1947 atau Taft-Hartley Act melarang penggunaan “closed shops” atau mempekerjakan pekerja hanya dari satu serikat buruh dan memberikan pemerintah peran sebagai perantara dalam perselisihan antara serikat pekerja dengan manajemen.
Manajemen SDM Tradisional (Akhir Abad ke-20)
Berakhirnya PD II dan Perang Korea menanjadi awal adanya perubahan drastis sejarah manajemen SDM. Era ini di AS ditandai dengan munculnya generasi baby boomers yang terdidik dan dipengaruhi oleh gagasan tentang hak asasi manusia dan aktualisasi diri, menghayati berbagai filosofi manajemen yang berorientasi pada perilaku dan mengadopsi filosofi manajemen yang mendorong diterimanya gagasan dan tindakan pekerja. Perubahan itu diwujudkan ke dalam perundangan perburuhan seperti Equal Pay Act pada 1963, the Civil Right Act pada 1964, Occupational Safety and Health Act pada 1970 dan Employee Retirement Income Security Act pada 1974. Keharusan untuk mematuhi undang-undang tentang ketenagakerjaan tersebut meningkatkan peran fungsi HR. The Michigan Model atau “Hard HRM” yang disampaikan oleh Fombrun, Tichy dan Devanna pada tahun 1984 mewarnai semangat pada masanya dan menjadi dasar dalam pendekatan tradisional HR. Model ini menyatakan karyawan sebagai sumber daya yang bernilai, diperoleh dengan biaya yang efektif, dimanfaatkan secara tepat guna, dan dikembangkan serta dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan perusahaan.
Manajemen SDM Strategik (Abad ke-21)
Lingkungan bisnis baru pasca Perang Dingin, dikombinasikan dengan pemakaian secara luas komputer dan internet untuk kepentingan komersial, secara radikal telah mengubah cara perusahaan melakukan bisnis. Dan manajemen tenaga kerja tidak kebal terhadap perubahan ini. Meningkatnya jumlah perusahaan di bidang jasa, masuknya lebih banyak wanita ke dalam dunia kerja, dan perubahan-perubahan yang lain membuat paradigma manjemen SDM tradisional menjadi kuno. Berbeda dengan perilaku pada awal tahun 1900-an ketika pekerja menjadi kurang berguna dibandingkan dengan mesin-mesin industri, pekerja berketerampilan tinggi dan berpengetahuan kini mengendalikan mesin, dan dengan mudahnya menguasai teknologi, keahlian pekerja seperti ini sekarang menjadi sumber keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Departemen SDM berusaha menahan pekerja berpengetahuan dengan memberikan lingkungan kerja kondusif, memperluas lingkup pekerjaan, menyampaikan tujuan organisasi secara jelas, mendorong terjadinya inovasi, dan intervensi melalui perilaku yang lain. The “Harvard Model” dari Beer et al (1984) atau Soft HRM, membantu untuk memimpin orang melalui komunikasi dan motivasi dan bukan memanajemeni mereka. Ini yang menandai pendekatan manajemen SDM strategik. Pendekatan ini menganggap karyawan sebagai aset, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sumber daya. Perpindahan dari manajemen SDM tradisional menuju manajemen SDM strategik masih menjadi tren hingga kini.