Difference between revisions of "Belajar Sambil Bekerja dan Bekerja Sambil Belajar"
m (Protected "Belajar Sambil Bekerja dan Bekerja Sambil Belajar" ([Edit=Allow only administrators] (indefinite) [Move=Allow only administrators] (indefinite))) |
|||
(One intermediate revision by the same user not shown) | |||
Line 1: | Line 1: | ||
Artikel ini pernah terbit di harian Fajar 29 Juni 2018 | Artikel ini pernah terbit di harian Fajar 29 Juni 2018 | ||
{{Kotak | {{Kotak | ||
− | |title = BIODATA | + | |title = BIODATA PENULIS |
|image = Dauspass.jpg | |image = Dauspass.jpg | ||
|Nama = Dr. Muhammad Firdaus, MBA | |Nama = Dr. Muhammad Firdaus, MBA |
Latest revision as of 17:49, 27 February 2021
Artikel ini pernah terbit di harian Fajar 29 Juni 2018
Nama | Dr. Muhammad Firdaus, MBA |
---|---|
Pekerjaan | Kepala Pustek Bangkom LAN |
Institusi | Lembaga Administrasi Negara |
Pendidikan | Doktor |
Universitas | Australian National University |
Disiplin Ilmu | Sosiologi |
Dalam era disruptive dewasa ini daur hidup pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan pegawai menjadi semakin pendek. Hal ini membuat pelatihan klasikal berbasis ruang kelas yang diselenggarakan pusat-pusat pelatihan tidak mampu lagi memenuhi seluruh kebutuhan belajar pegawai. Bukan berarti pelatihan klasikal tidak diperlukan lagi, namun perlu ada bentuk pembelajaran alernatif untuk menutupi kelemahannya.
Ada beberapa kelemahan inheren pelatihan berbasis ruang kelas jika dilaksanakan dalam bentuk klasikal. Pertama, pegawai hanya berkesempatan mengikutinya secara periodik padahal kebutuhan belajar mereka bersifat terus menerus dan setiap saat. Kedua, pelatihan klasikal secara efektif hanya mampu mentransfer pengetahuan eksplisit yaitu pengetahuan yang sebenarnya sudah ada di buku, pedoman, video dan sebagainya yang kemudian diramu menjadi bahan ajar. Pengetahuan ekplisit ini hanya sekadar membuat pegawai mampu menjawab pertanyaan apa (know what). Sementara pegawai dewasa ini butuh pengetahuan tacit, yaitu pengetahuan yang terbangun dari pengalaman, melekat pada dirinya dan berada di alam bawah sadarnya sehingga secara spontan bisa dikerahkan untuk merepon permasalahan yang muncul secara tiba-tiba. Pengetahuan tacit inilah yang membuat pegawai “mampu melakukan” (know-how).
Lantas apa solusinya? Pertama, pelatihan formal di pusat-pusat pelatihan perlu dikembangkan untuk mengadopsi model-model pembelajaran yang lebih interaktif, delivery materi tidak sepenuhnya dalam ruang kelas, banyak melibatkan kolaborasi antar peserta dan tidak mendiktekan satu persepsi tetapi memberi peluang tumbuhnya beragam pemahaman. Pelatihan tidak boleh mereduksi kompleksitas dunia kerja karena ketika peserta selesai mengikutinya mereka akan frustrasi menghadapi pekerjaanya yang ternyata tidak sesederhana yang mereka dapatkan di pelatihan. Pada intinya, pelatihan tidak boleh terlalu distrukturkan secara kaku sehingga memberikan pengalaman yang kontras dengan realitas yang dirasakan pegawai di tempat kerjanya.
Kedua, dan ini yang terpenting, adalah mentransformasikan tempat kerja sebagai tempat belajar. Dengan cara ini tidak akan ada lagi kesenjangan antara realitas tempat kerja dan apa yang dipelajari. Di negara maju, pembelajaran di tempat kerja dalam berbagai bentuknya sudah menjadi bagian dari sistem pengembangan sumber daya manusia. Bahkan pembelajaran di tempat kerja sudah bisa mendapatkan pengakuan formal atau sertifikasi. Magang, coaching, mentoring, detasering, job rotation, job assignment adalah diantara bentuk-bentuk pembelajaran di tempat kerja yang sangat efektif dalam mengembangkan kompetensi pegawai.
Dipelopori oleh perusahaan swasta dan BUMN, dewasa ini sudah mulai bermunculan corporate university di Indonesia. Kementerian Keuangan adalah salah satu pionir sektor publik yang mengembangkan kompetensi pegawai melalui corporate university yang dimilikinya. Meskipun menggunakan kata university namun tidak ada kaitannya dengan perguruan tinggi dimana pegawai memperoleh gelar akademik. Esensinya, corporate unversity adalah manivestasi dari budaya organisasi pembelajar (learning organization). Strukturnya tidak formal, tetapi shadow structure dimana pejabat dalam suatu organsasi yang merangkap menduduki posisi-posisi yang ada sebagai wujud komitmen mereka untuk mengembangkan kompetensi pegawainya melalui berbagai kesempatan belajar di pelatihan dan dipekerjaan itu sendiri.
Corporate university mampu menutupi kelemahan pelatihan klasikal dengan memanfaatkan pembelajaran di tempat kerja. Hal ini membuka kesempatan bagi pegawai untuk belajar setiap saat tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Relevansi pembelajaranpun dengan tuntutan pekerjaan terjamin karena mereka belajar sambil bekerja dan bekerja sambil belajar. Karena ini masih relatif baru bagi sebagian organisasi di Indonesia maka diperlukan adanya pedoman pembelajaran di tempat kerja agar mampu dijalankan dengan baik oleh organisasi yang ingin mentransformasikan unit pengembangan pegawainya menjadi Corporate University.