Difference between revisions of "TANTANGAN MENUJU INDONESIA EMAS TAHUN 2045"
(Created page with "center|frameless|602x602px ====<big>Pada tahun 2045, Negara Kesatuan Republik Indonesia akan menyentuh usia kemerdekaan yang ke 100. Usia negara yang di...") |
|||
(One intermediate revision by the same user not shown) | |||
Line 19: | Line 19: | ||
Keadaan ini juga dapat kemungkinannya disebabkan ketidakmampuan pemerintah untuk melakukan perubahan struktur, norma, nilai bagi pegawai, telah menyebabkan gagalnya upaya untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Sehingga muncul anggapan masyarakat bahwa kualitas dan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik masih jauh dari harapan. Masih belum tercipta budaya pelayanan publik yang berorientasi pada kebutuhan pelanggan (''service delivery culture''). Sebaliknya, yang terbentuk adalah obsesi para birokrat dan politisi untuk mengalihkan birokrasi sebagai lahan pemerintahan hasrat dan kekuasaan (''power culture''). Membentuk budaya kerja hanya dapat dilakukan jika dalam instansi pemerintah tersebut memiliki norma atau nilai yang menjadi modal dasar penerapan budaya kerja, sehingga jika norma dan nilai tersebut sudah dimiliki selanjutnya diperlukan komitmen dari pimpinan instansi pemerintah untuk menerapkan secara sungguh-sungguh pada instansi yang dipimpinnya. Membangun budaya kerja atau menumbuhkan nilai-nilai yang baik dalam suatu instansi pemerintah masih sangat sulit untuk diterapkan dengan mengandalkan kesadaran dari dalam diri ASN itu sendiri. Berbagai peraturan yang dibuat secara tertulis dan dijelaskan apa yang harus dan apa yang dilarang untuk dilakukan, serta dengan konsekuensi sanksi yang diberikan jika terjadi pelanggaran atas aturan tersebut, dianggap sebagai formalitas atau pelengkap administrasi saja karena setiap aturan yang dibuat akan selalu ada usaha untuk mencari celah agar dapat dilanggar. Untuk itu penerapan budaya kerja dalam instansi pemerintah diharapkan mampu membantu merubah kebiasaan buruk yang masih menjadi kebiasaan yang telah membudaya di lingkungan birokrasi pemerintahan khususnya ASN sebagai pelaksananya. Masalahnya sekarang apakah setiap ASN mau untuk berubah kearah yang lebih baik? | Keadaan ini juga dapat kemungkinannya disebabkan ketidakmampuan pemerintah untuk melakukan perubahan struktur, norma, nilai bagi pegawai, telah menyebabkan gagalnya upaya untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Sehingga muncul anggapan masyarakat bahwa kualitas dan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik masih jauh dari harapan. Masih belum tercipta budaya pelayanan publik yang berorientasi pada kebutuhan pelanggan (''service delivery culture''). Sebaliknya, yang terbentuk adalah obsesi para birokrat dan politisi untuk mengalihkan birokrasi sebagai lahan pemerintahan hasrat dan kekuasaan (''power culture''). Membentuk budaya kerja hanya dapat dilakukan jika dalam instansi pemerintah tersebut memiliki norma atau nilai yang menjadi modal dasar penerapan budaya kerja, sehingga jika norma dan nilai tersebut sudah dimiliki selanjutnya diperlukan komitmen dari pimpinan instansi pemerintah untuk menerapkan secara sungguh-sungguh pada instansi yang dipimpinnya. Membangun budaya kerja atau menumbuhkan nilai-nilai yang baik dalam suatu instansi pemerintah masih sangat sulit untuk diterapkan dengan mengandalkan kesadaran dari dalam diri ASN itu sendiri. Berbagai peraturan yang dibuat secara tertulis dan dijelaskan apa yang harus dan apa yang dilarang untuk dilakukan, serta dengan konsekuensi sanksi yang diberikan jika terjadi pelanggaran atas aturan tersebut, dianggap sebagai formalitas atau pelengkap administrasi saja karena setiap aturan yang dibuat akan selalu ada usaha untuk mencari celah agar dapat dilanggar. Untuk itu penerapan budaya kerja dalam instansi pemerintah diharapkan mampu membantu merubah kebiasaan buruk yang masih menjadi kebiasaan yang telah membudaya di lingkungan birokrasi pemerintahan khususnya ASN sebagai pelaksananya. Masalahnya sekarang apakah setiap ASN mau untuk berubah kearah yang lebih baik? | ||
+ | |||
+ | Memang diperlukan kesadaran yang tinggi dari setiap ASN untuk menanamkan nilai-nilai dari budaya kerja tersebut untuk dapat diwujudkan dalam lingkungan kerjanya. Dengan memberikan pelayanan yang memuaskan kepada masyarakat berarti telah disadari oleh setiap ASN untuk menanamkan pola pikir bahwa seorang ASN adalah '''''sebagai pelayan masyarakat bukan untuk dilayani'''''. Hal ini akan menjadi awal yang baik dalam memulai membangun budaya kerja, karena lingkungan yang baik akan sangat membantu menumbuhkan kesadaran setiap ASN untuk menghilangkan kebiasaan buruk yang diwariskan secara turun temurun. Partisipasi semua pihak mulai dari pimpinan baik ditingkat atas, menengah dan bawah yang berperan sebagai contoh atau panutan untuk bawahannya sekaligus sebagai penilai untuk memberikan ''reward and punishment''. | ||
+ | |||
+ | Meskipun tantangan pengembangan budaya kerja cukup berat dilakukan karena memerlukan waktu yang panjang dan berkesinambungan, kesabaran, ketekunan serta semangat pengabdian yang tinggi, namun semua itu harus dihadapi dan harus ada yang menjadi pelopor untuk memulai dari dirinya sendiri dan yang terpenting, mulailah dari sekarang agar visi Indonesia Emas tahun 2045 dapat diwujudkan. | ||
+ | |||
+ | == '''3. Tantangan menuju Indonesia Emas pada Level Sistem''' == | ||
+ | [[File:Indonesia Emas.jpg|left|thumb]] | ||
+ | Harus diakui bahwa dalam setiap proses kebijakan publik selalu akan terbuka kemungkinan terjadinya perbedaan (gap) antara apa yang “diharapkan” oleh pembuat kebijakan dengan apa yang “nyatanya” dicapai sebagai hasil atau kinerja dari pelaksanaan kebijakan. Sederhananya adalah setiap kebijakan publik mengandung resiko untuk gagal. | ||
+ | |||
+ | Kegagalan kebijakan tentu terjadi karena 2 (dua) hal, pertama tidak terimplementasikan dan kedua implementasi yang tidak berhasil. Tidak terimplementasikan berarti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, dimana ada kemungkinan terjadi bargaining politik, tidak menguasai permasalahan, tidak ada koordinasi dan lain sebagainya. Sementara itu implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi jika suatu kebijakan telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun terjadi kondisi eksternal yang tidak menguntungkan seperti pergantian kekuasaan, perpindahan posisi dan lain sebagainya. | ||
+ | |||
+ | Menarik untuk dicermati bersama bahwa Pemerintahan Indonesia saat ini tentu memiliki kebijakan-kebijakan yang dalam tanda kutip “bagus”, tetapi belum tentu baik, terlebih lagi dalam konteks implementasi. Perhatian besar dalam proses kebijakan publik seringkali hanya pada tataran “perumusan” kebijakan dengan menganggap bahwa sebuah kebijakan itu akan berjalan dengan sendirinya. Sebuah faktor yang paling penting bagi sebuah kebijakan adalah dalam tataran implementasi (penerapan) kebijakan tersebut, dimana ini menyangkut ranah permasalahan konflik, pelik dan isu mengenai siapa yang memperoleh apa dan mendapatkan apa (Wahab, 2017). Tentu hal ini sangat bergantung kepada para aktor yang teribat didalam proses penerapan sebuah kebijakan publik. | ||
+ | |||
+ | Implementasi kebijakan sering dianggap sebagai bentuk pengoperasionalisasian atau penyelenggaraan aktivitas yang telah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang dan menjadi kesepakatan bersama di antara beragam pemangku kepentingan (stakeholders), aktor, organisasi (publik atau privat), prosedur dan teknik yang digerakkan untuk bekerjasama guna menerapkan kebijakan kearah yang dikehendaki. Sederhananya adalah realita implementasi melibatkan berbagai pihak dan menyangkut kepada hubungan-hubungan keorganisasian yang kompleks. | ||
+ | |||
+ | Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang telah direncanakan dengan sangat baik mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang di implementasikan dengan baik oleh para pelaksana kegiatan. | ||
+ | |||
+ | Hal ini berarti bahwa implementasi kebijakan merupakan salah satu variabel “penting” yang berpengaruh terhadap keberhasilan suatu kebijakan dalam memecahkan persoalan-persoalan publik. Dapat kita saksikan hingga hari ini beragam persoalan-persoalan kebijakan dan program-program pemerintah yang dapat dikatakan “kurang” berhasil dalam proses pelaksanaannya salah satunya mengenai transformasi digital di bidang pendidikan Indonesia yang sangat memerlukan solusi yang sangat serius agar tujuan yang telah direncanakan dapat tercapai. | ||
+ | |||
+ | Indonesia menuju usia emasnya pada tahun 2045. Seiring pertumbuhan usia bangsa, banyak tantangan yang akan dihadapi bangsa Indonesia. Sehingga, perlu adanya adaptasi dan transformasi dalam menyiapkan manusia Indonesia menyambut Indonesia Emas 2045, salah satunya dengan kunci pendidikan. Tidak ada pilihan, diam atau terseret, maju dan berkembang. Itulah kondisi dari sistem pendidikan Indonesia saat ini. Sebab, dunia telah memilih maju dengan teknologi digital dalam semua aspek kehidupan, termasuk pendidikan. | ||
+ | |||
+ | Dunia telah menetapkan diri untuk melangkah lebih jauh di dalam hampir semua aspek dengan berlandaskan pada teknologi. Namun, apakah sistem pendidikan Indonesia telah siap dengan semua perubahan ini? Jawabannya sedikit rancu, karena Indonesia bisa dikatakan siap dan juga tidak siap. Hal ini dibuktikan dengan metode pembelajaran yang dilakukan secara jarak jauh secara daring di hampir seluruh sekolah dan universitas. | ||
+ | |||
+ | Secara penguasaan teknologi, anak-anak Indonesia bisa dikatakan sudah cukup siap. Namun, secara sistem dan kultur pendidikan, sama sekali tidak memberikan hasil yang cukup memuaskan. Banyak siswa dan guru yang mengeluhkan sulitnya memakai ''platform'' atau media pembelajaran dengan sistem daring. Bahkan tidak sedikit yang gagal dalam ujian karena koneksi internet tidak stabil. | ||
+ | |||
+ | Infrastruktur pendidikan, itulah kata kunci dan akar masalah yang timbul dalam pembelajaran digital. Hampir seluruh sekolah di Indonesia belum memiliki sistem dan platform teknologi pendidikan yang memadai. Sejauh ini, komunikasi yang dilakukan oleh guru kepada siswa ketika belajar dari rumah hanya menggunakan aplikasi ''video conference'' dan pesan instan. Batasan pada fitur secara umum telah berdampak pada efisiensi dan efektivitas belajar. | ||
+ | |||
+ | Lalu, bagaimana strategi untuk meningkatkan kualitas dan transformasi digital pendidikan Indonesia? Ada beberapa hal mendasar yang bisa dipetakan. | ||
+ | |||
+ | Pertama, maksimalkan infrastruktur digital. Saat ini, perluasan infrastruktur digital menjadi sangat penting, agar semua sekolah dan institusi pendidikan di penjuru kawasan Indonesia dari Sabang hingga Merauke mendapatkan akses listrik dan internet. | ||
+ | |||
+ | Kedua, visi global dalam transfromasi digital. Pendidikan kita tidak boleh hanya terkungkung dalam tempurung wawasan yang sempit. Generasi muda Indonesia saat ini merupakan anak zaman, generasi global yang terkoneksi secara internasional dengan perangkat teknologi. Maka, visi global pendidikan Indonesia menjadi sangat penting, agar setiap kebijakan, program dan penyegaran sistem pendidikan terkoneksi dengan perkembangan dinamis internasional. Maka, desain kebijakan, infrastruktur, sistem dan juga pola komunikasi dalam pembelajaran secara bertahap akan menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang memiliki komptensi yang diakui dunia internasional. Di sisi lain, pendidikan karakter dan moral tetap menjadi basis, sebagai identitas kultural generasi muda Indonesia. | ||
+ | |||
+ | Ketiga, sistem digital pembelajaran nasional. Saat ini, pemerintah Indonesia tengah bekerja keras menyiapkan beberapa hal dalam rangka transformasi digital di lintas aspek, yang secara komprehensif saling terkoneksi. Transformasi digital ini memungkinkan interkoneksi sistem dari lini finansial, pendidikan, kesehatan, ''smart city'', hingga tata kelola pemerintahan. Tentu saja, ada proses panjang dalam mewujudkan tahapan ini. Namun, mau tidak mau, Indonesia harus melangkah menuju tahapan itu dengan menyiapkan sistem seraya mengedukasi publik agar berjalan seiring dalam visi-misi yang sama. | ||
+ | |||
+ | Indonesia membutuhkan terobosan-terobosan strategis dan visi global untuk menyelenggarakan transformasi pendidikan. Kita membutuhkan kerjasama, kolaborasi, kreatifitas dan dedikasi untuk menjaga nyala api belajar siswa kita. Kita membutuhkan semangat juang dan mengabdi agar mimpi-mimpi peserta didik kita tetap bercayaha dan visi Indonesia Emas tahun 2045 dapat terwujud |
Latest revision as of 17:53, 27 September 2021
[edit | edit source]
[edit | edit source]
Realisasi menuju Indonesia Emas 2045 memerlukan investasi fisik maupun non-fisik. Investasi yang terpenting adalah investasi dalam pembangunan sumber daya manusia. Investasi sumber daya manusia adalah yang bersifat meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya. Investasi sumber daya manusia seringkali dikenal sebagai upaya untuk meningkatkan modal manusia (human capital). Investasi modal manusia bersifat kumulatif, yang harus dipupuk sejak awal dan berlangsung terus menerus. Investasi sumber daya manusia tidak hanya di bidang pendidikan dan kesehatan, tetapi juga meliputi bagaimana manusia dibentuk dan dididik sehingga berperilaku produktif.
ASN Indonesia terdiri dari beberapa lapis generasi. Generasi yang biasa kita dengar adalah generasi baby boomers dan generasi milenial. Masing-masing generasi ASN ini memiliki sikap dan perilaku yang berbeda. ASN generasi Baby boomers memiliki sikap dan perilaku yang mengedepankan tata krama birokrasi dan cenderung memiliki karakter idealis. Mereka cenderung memegang teguh prinsip yang mereka anut, khususnya terkait dengan budaya kerja yang sudah turun temurun. Selain itu mereka juga memiliki pola pikir konservatif, karena itulah generasi ini cenderung lebih berani mengambil resiko dibanding dengan generasi lain. ASN generasi baby boomers masih banyak menggunakan cara konvensional seperti membaca melalui koran atau buku dan menonton televisi.
Berbeda dengan ASN generasi milenial. ASN generasi milenial memiliki sikap dan perilaku yang lebih kreatif, melek teknologi, dan memprioritaskan work life balance. ASN generasi milenial memiliki kemampuan bawaan untuk menggunakan teknologi, multitasking, nyaman saat menggunakan beragam media digital. Generasi milenial tidak memiliki dorongan gila kerja, tetapi mereka berusaha menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan pribadinya dengan menggunakan banyak teknologi untuk menyelesaikan pekerjaan mereka dengan cepat. ASN generasi milenial lebih banyak menggunakan smartphone. Bahkan segala hiburan dan kegiatan sosial dapat mereka dapatkan dalam satu genggaman.
Perbedaan sikap dan perilaku yang sangat bertolak belakang antara generasi baby boomers dan generasi milenial merupakan tantangan dalam mewujudkan Indonesia Emas Tahun 2045. Dimana ASN baby boomers menganggap bahwa ASN milenial tidak menjunjung etika dan norma pergaulan dan menilai sikap dan perilaku ASN milenial tidak selaras dengan budaya birokrasi yang mengakar secara formal dalam mengatur kebiasaan berperilaku. Sebaliknya, ASN generasi milenial menganggap bahwa ASN generasi baby boomers sebagai generasi yang arogan, resisten terhadap perubahan, memiliki keyakinan benar terhadap pengalaman, serta kurang kreatif. Potensi konflik dan cara pandang tersebut sangat mungkin terjadi di dunia kerja pada interaksi antar generasi. Konflik akan mudah dihindari apabila perbedaan dapat dikelola dengan baik sehingga menjadi sebuah interaksi yang produktif dan bersinergi untuk dunia kerja. Kolaborasi antar generasi sangat diperlukan untuk dapat meningkatkan kinerja instansi meskipun hal tersebut tidaklah mudah. Generasi baby boomers yang telah memiliki lebih banyak pengalaman perlu dimotivasi untuk dapat berbagi pengetahuan dan pengalaman terhadap generasi milenial, namun tidak menutup diri untuk beradaptasi dengan berbagai teknologi yang dikuasai oleh generasi milenial. Sebaliknya, generasi milenial pun perlu membuka diri untuk menerima berbagai pengetahuan dan pengalaman dari para seniornya.
Kolaborasi antar generasi meskipun bukanlah hal yang mudah namun sangat diperlukan untuk dapat meningkatkan kinerja instansi. Melalui kolaborasi antar generasi, pegawai senior pada generasi baby boomers dan generasi junior (milenial) dapat saling berbagi pengetahuan dan pengalaman sekaligus beradaptasi dengan teknologi masa kini sehingga dapat meningkatkan kompetensi dan kinerja masing-masing generasi tersebut. Dengan memanfaatkan kolaborasi antar generasi, maka visi untuk mewujudkan aparatur berkelas dunia yang unggul dan memiliki daya saing dapat dengan mudah diwujudkan.
[edit | edit source]
Institusi merupakan organisasi pelaksana penentu yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Hal ini berarti bahwa terdapat berbagai kegiatan baik itu sosialisasi kebijakan, pengetahuan kebijakan maupun pelaksanaan kebijakan itu sendiri. Tetapi terkadang hal ini menjadi hambatan ketika para pelaksana belum memahami sepenuhnya tentang kebijakan yang akan dilaksanakan. Seringkali ketika kebijakan itu disusun, berbagai aktor kebijakan memiliki tujuan masing-masing untuk memenuhi kebijakan tersbeut, sehingga yang terjadi adalah bukan kebijakan yang tertuju kepada kepentingan masyarakat, tetapi “hanya” kepentingan berbagai aktor yang terlibat dalam penyusunan tersebut. Banyaknya penilaian negatif terhadap budaya kerja para ASN dalam pelayanan publik merupakan suatu permasalahan yang harus diatasi oleh pemerintah. Ini terlihat dengan adanya anggapan bahwa para ASN bekerja masih dianggap sebagai sesuatu yang rutin. Bahkan di sebagian ASN, bisa jadi bekerja dianggap sebagai beban dan paksaan terutama bagi orang yang malas. Apabila alat ukur yang tepat dalam mengkategori budaya kerja yang berkualitas belum ditentukan, maka akan terlihat sebagian pimpinan dalam berbagai instansi pemerintah memberi tugas kepada pegawai di lingkungan instansinya tanpa melihat kemampuan yang dimiliki. Yang dipentingkan adalah asal itu bisa membuat posisi sang pimpinan aman dan terkendali.
Keadaan ini juga dapat kemungkinannya disebabkan ketidakmampuan pemerintah untuk melakukan perubahan struktur, norma, nilai bagi pegawai, telah menyebabkan gagalnya upaya untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Sehingga muncul anggapan masyarakat bahwa kualitas dan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik masih jauh dari harapan. Masih belum tercipta budaya pelayanan publik yang berorientasi pada kebutuhan pelanggan (service delivery culture). Sebaliknya, yang terbentuk adalah obsesi para birokrat dan politisi untuk mengalihkan birokrasi sebagai lahan pemerintahan hasrat dan kekuasaan (power culture). Membentuk budaya kerja hanya dapat dilakukan jika dalam instansi pemerintah tersebut memiliki norma atau nilai yang menjadi modal dasar penerapan budaya kerja, sehingga jika norma dan nilai tersebut sudah dimiliki selanjutnya diperlukan komitmen dari pimpinan instansi pemerintah untuk menerapkan secara sungguh-sungguh pada instansi yang dipimpinnya. Membangun budaya kerja atau menumbuhkan nilai-nilai yang baik dalam suatu instansi pemerintah masih sangat sulit untuk diterapkan dengan mengandalkan kesadaran dari dalam diri ASN itu sendiri. Berbagai peraturan yang dibuat secara tertulis dan dijelaskan apa yang harus dan apa yang dilarang untuk dilakukan, serta dengan konsekuensi sanksi yang diberikan jika terjadi pelanggaran atas aturan tersebut, dianggap sebagai formalitas atau pelengkap administrasi saja karena setiap aturan yang dibuat akan selalu ada usaha untuk mencari celah agar dapat dilanggar. Untuk itu penerapan budaya kerja dalam instansi pemerintah diharapkan mampu membantu merubah kebiasaan buruk yang masih menjadi kebiasaan yang telah membudaya di lingkungan birokrasi pemerintahan khususnya ASN sebagai pelaksananya. Masalahnya sekarang apakah setiap ASN mau untuk berubah kearah yang lebih baik?
Memang diperlukan kesadaran yang tinggi dari setiap ASN untuk menanamkan nilai-nilai dari budaya kerja tersebut untuk dapat diwujudkan dalam lingkungan kerjanya. Dengan memberikan pelayanan yang memuaskan kepada masyarakat berarti telah disadari oleh setiap ASN untuk menanamkan pola pikir bahwa seorang ASN adalah sebagai pelayan masyarakat bukan untuk dilayani. Hal ini akan menjadi awal yang baik dalam memulai membangun budaya kerja, karena lingkungan yang baik akan sangat membantu menumbuhkan kesadaran setiap ASN untuk menghilangkan kebiasaan buruk yang diwariskan secara turun temurun. Partisipasi semua pihak mulai dari pimpinan baik ditingkat atas, menengah dan bawah yang berperan sebagai contoh atau panutan untuk bawahannya sekaligus sebagai penilai untuk memberikan reward and punishment.
Meskipun tantangan pengembangan budaya kerja cukup berat dilakukan karena memerlukan waktu yang panjang dan berkesinambungan, kesabaran, ketekunan serta semangat pengabdian yang tinggi, namun semua itu harus dihadapi dan harus ada yang menjadi pelopor untuk memulai dari dirinya sendiri dan yang terpenting, mulailah dari sekarang agar visi Indonesia Emas tahun 2045 dapat diwujudkan.
[edit | edit source]
Harus diakui bahwa dalam setiap proses kebijakan publik selalu akan terbuka kemungkinan terjadinya perbedaan (gap) antara apa yang “diharapkan” oleh pembuat kebijakan dengan apa yang “nyatanya” dicapai sebagai hasil atau kinerja dari pelaksanaan kebijakan. Sederhananya adalah setiap kebijakan publik mengandung resiko untuk gagal.
Kegagalan kebijakan tentu terjadi karena 2 (dua) hal, pertama tidak terimplementasikan dan kedua implementasi yang tidak berhasil. Tidak terimplementasikan berarti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, dimana ada kemungkinan terjadi bargaining politik, tidak menguasai permasalahan, tidak ada koordinasi dan lain sebagainya. Sementara itu implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi jika suatu kebijakan telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun terjadi kondisi eksternal yang tidak menguntungkan seperti pergantian kekuasaan, perpindahan posisi dan lain sebagainya.
Menarik untuk dicermati bersama bahwa Pemerintahan Indonesia saat ini tentu memiliki kebijakan-kebijakan yang dalam tanda kutip “bagus”, tetapi belum tentu baik, terlebih lagi dalam konteks implementasi. Perhatian besar dalam proses kebijakan publik seringkali hanya pada tataran “perumusan” kebijakan dengan menganggap bahwa sebuah kebijakan itu akan berjalan dengan sendirinya. Sebuah faktor yang paling penting bagi sebuah kebijakan adalah dalam tataran implementasi (penerapan) kebijakan tersebut, dimana ini menyangkut ranah permasalahan konflik, pelik dan isu mengenai siapa yang memperoleh apa dan mendapatkan apa (Wahab, 2017). Tentu hal ini sangat bergantung kepada para aktor yang teribat didalam proses penerapan sebuah kebijakan publik.
Implementasi kebijakan sering dianggap sebagai bentuk pengoperasionalisasian atau penyelenggaraan aktivitas yang telah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang dan menjadi kesepakatan bersama di antara beragam pemangku kepentingan (stakeholders), aktor, organisasi (publik atau privat), prosedur dan teknik yang digerakkan untuk bekerjasama guna menerapkan kebijakan kearah yang dikehendaki. Sederhananya adalah realita implementasi melibatkan berbagai pihak dan menyangkut kepada hubungan-hubungan keorganisasian yang kompleks.
Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang telah direncanakan dengan sangat baik mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang di implementasikan dengan baik oleh para pelaksana kegiatan.
Hal ini berarti bahwa implementasi kebijakan merupakan salah satu variabel “penting” yang berpengaruh terhadap keberhasilan suatu kebijakan dalam memecahkan persoalan-persoalan publik. Dapat kita saksikan hingga hari ini beragam persoalan-persoalan kebijakan dan program-program pemerintah yang dapat dikatakan “kurang” berhasil dalam proses pelaksanaannya salah satunya mengenai transformasi digital di bidang pendidikan Indonesia yang sangat memerlukan solusi yang sangat serius agar tujuan yang telah direncanakan dapat tercapai.
Indonesia menuju usia emasnya pada tahun 2045. Seiring pertumbuhan usia bangsa, banyak tantangan yang akan dihadapi bangsa Indonesia. Sehingga, perlu adanya adaptasi dan transformasi dalam menyiapkan manusia Indonesia menyambut Indonesia Emas 2045, salah satunya dengan kunci pendidikan. Tidak ada pilihan, diam atau terseret, maju dan berkembang. Itulah kondisi dari sistem pendidikan Indonesia saat ini. Sebab, dunia telah memilih maju dengan teknologi digital dalam semua aspek kehidupan, termasuk pendidikan.
Dunia telah menetapkan diri untuk melangkah lebih jauh di dalam hampir semua aspek dengan berlandaskan pada teknologi. Namun, apakah sistem pendidikan Indonesia telah siap dengan semua perubahan ini? Jawabannya sedikit rancu, karena Indonesia bisa dikatakan siap dan juga tidak siap. Hal ini dibuktikan dengan metode pembelajaran yang dilakukan secara jarak jauh secara daring di hampir seluruh sekolah dan universitas.
Secara penguasaan teknologi, anak-anak Indonesia bisa dikatakan sudah cukup siap. Namun, secara sistem dan kultur pendidikan, sama sekali tidak memberikan hasil yang cukup memuaskan. Banyak siswa dan guru yang mengeluhkan sulitnya memakai platform atau media pembelajaran dengan sistem daring. Bahkan tidak sedikit yang gagal dalam ujian karena koneksi internet tidak stabil.
Infrastruktur pendidikan, itulah kata kunci dan akar masalah yang timbul dalam pembelajaran digital. Hampir seluruh sekolah di Indonesia belum memiliki sistem dan platform teknologi pendidikan yang memadai. Sejauh ini, komunikasi yang dilakukan oleh guru kepada siswa ketika belajar dari rumah hanya menggunakan aplikasi video conference dan pesan instan. Batasan pada fitur secara umum telah berdampak pada efisiensi dan efektivitas belajar.
Lalu, bagaimana strategi untuk meningkatkan kualitas dan transformasi digital pendidikan Indonesia? Ada beberapa hal mendasar yang bisa dipetakan.
Pertama, maksimalkan infrastruktur digital. Saat ini, perluasan infrastruktur digital menjadi sangat penting, agar semua sekolah dan institusi pendidikan di penjuru kawasan Indonesia dari Sabang hingga Merauke mendapatkan akses listrik dan internet.
Kedua, visi global dalam transfromasi digital. Pendidikan kita tidak boleh hanya terkungkung dalam tempurung wawasan yang sempit. Generasi muda Indonesia saat ini merupakan anak zaman, generasi global yang terkoneksi secara internasional dengan perangkat teknologi. Maka, visi global pendidikan Indonesia menjadi sangat penting, agar setiap kebijakan, program dan penyegaran sistem pendidikan terkoneksi dengan perkembangan dinamis internasional. Maka, desain kebijakan, infrastruktur, sistem dan juga pola komunikasi dalam pembelajaran secara bertahap akan menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang memiliki komptensi yang diakui dunia internasional. Di sisi lain, pendidikan karakter dan moral tetap menjadi basis, sebagai identitas kultural generasi muda Indonesia.
Ketiga, sistem digital pembelajaran nasional. Saat ini, pemerintah Indonesia tengah bekerja keras menyiapkan beberapa hal dalam rangka transformasi digital di lintas aspek, yang secara komprehensif saling terkoneksi. Transformasi digital ini memungkinkan interkoneksi sistem dari lini finansial, pendidikan, kesehatan, smart city, hingga tata kelola pemerintahan. Tentu saja, ada proses panjang dalam mewujudkan tahapan ini. Namun, mau tidak mau, Indonesia harus melangkah menuju tahapan itu dengan menyiapkan sistem seraya mengedukasi publik agar berjalan seiring dalam visi-misi yang sama.
Indonesia membutuhkan terobosan-terobosan strategis dan visi global untuk menyelenggarakan transformasi pendidikan. Kita membutuhkan kerjasama, kolaborasi, kreatifitas dan dedikasi untuk menjaga nyala api belajar siswa kita. Kita membutuhkan semangat juang dan mengabdi agar mimpi-mimpi peserta didik kita tetap bercayaha dan visi Indonesia Emas tahun 2045 dapat terwujud